Makalah Fiqh Muamalah : Hiwalah dan Kafalah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam kehidupan di dunia ini, manusia tidak akan pernah lepas dari manusia yang lain. Saling membutuhkan dan membantu satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk dalam kegiatan utang-piutang. Utang piutang merupakan istilah yang tak asing lagi di telinga kita. Dalam kegiatan ini ada istilah hiwalah, yaitu pemindahan utang. Namun pemindahan ini ada ketentuan-ketentuan yang harus diketahui bersama. Begitu pula dengan kafalah atau penjaminan tanggungan yang juga sudah menjadi kegiatan yang biasa. Akan tetapi, sebagai orang islam tentu harus mengetahui segala aspek hukum yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena masalah hiwalah dan kafalah ini cukup urgen. Maka dalam makalah ini akan membahas tentang hiwalah dan kafalah yang sudah ditentukan dalam ajaran islam yaitu dalam fiqh muamalah. Dimulai dari pengertian dari hiwalah dan kafalah, dasar-dasar hukumnya hingga berakhirnya akad dari hiwalah dan kafalah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah                                          
1.      Apa pengertian Hiwalah?
2.      Bagaimana dasar-dasar hukum Hiwalah?
3.      Apa rukun dan syarat Hiwalah?
4.      Apa saja macam-macam Hiwalah?
5.      Bagaimana beban muhil setelah Hiwalah?
6.      Kapan berakhirnya Hiwalah?
7.      Apa pengertian Kafalah?
8.      Bagaimana dasar-dasar hukum Kafalah?
9.      Apa rukun dan syarat Kafalah?
10.  Apa saja macam-macam Kafalah?
11.  Bagaimana pembayaran Kafil?
12.  Apa hikmah Kafalah?
1.2  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Hiwalah dan Kafalah
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar hukum Hiwalah dan Kafalah
3.      Untuk mengetahui macam-macam Hiwalah dan Kafalah
4.      Untuk mengetahui beban muhil setelah Hiwalah
5.      Untuk mengetahui akhir suatu akad Hiwalah
6.      Untuk mengetahui pembayaran Kafil
7.      Untuk mengetahui hikmah Kafalah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Aburrahman Al-Jaziri,[1] berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah :
                                                                         اَلنَّقْلُ مِنْ مَحَلٍّ إِلَى مَحَلِّ                
       “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain”.
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah,[2] para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut :
1.      Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah :
نَقْلُ الْمُطَالَبَةِ مِنْ ذِمَّةِالْمَدْيُوْنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُلْتَزَمِ
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”.
2.      Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah :
اِنْتِقَالُ الدَّيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ
“Pemindahan utang dari beban seseorang  menjadi beban orang lain”.[3]
3.      Jumhur ulama fiqh mendefinisikannya dengan :
عَقْدٌ يَقْتَضِى نَقْل الدَّيْن مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ
“Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab (orang lain)”.[4]
            Pada dasarnya definisi yang dikemukakan oleh ulama hanafiyah dan jumhur ulama fiqh di atas sekalipun berbeda secara tekstual, tetapi secara         substansial mengandung pengertian yang sama, yaitu pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak yang memberi utang.
2.2  Dasar Hukum Hiwalah
1.      Al-Qur’an
Allah Swt berfirman:
$ygƒr'¯»ƒالَّذِيْنَ ءَامَنُواْإِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ فَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِاالْعَدْلِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[5] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282).
2.      Hadits
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّه عَنْهَ اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أَتْبَعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ
Artinya: “Menunda (pembayaran utang) oleh orang yang telah mampu membayar itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu utangnya dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima”. (HR. Bukhari-Muslim).
3.      Ijma’
Para ulama sepakat (ijma) atas kebolehan akad hawalah/hiwalah. Menurut pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az-Zahiriyah, hukumnya wajib bagi muhal menerima hiwalah berdasarkan perintah pada hadits tersebut. 
Sedangkan menurut jumhur ulama perintah pada hadist tersebut untuk menerima hiwalah  hukumnya sunnah, bukan wajib, sebab mungkin saja muhal’alaih sulit ekonomi atau sulit membayar hutang, maka dalam hal ini ia tidak wajib menerima hawalah.



2.3  Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut ulama Hanafiyah[6],  rukun hiwalah ada dua, yaitu:
1)      Ijab (pernyataan  melakukan hiwalah) dari pihak pertama (muhil).
2)      Qabul (pernyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua (muhal) dan pihak ketiga (muhal‘alaih).
Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari mazhab Maliki, Hanbali, dan Syafi’i, rukun hiwalah ada lima, yaitu: 
1)      Pihak pertama (muhil) adalah pihak yang berutang dan berpiutang. Adapun syarat bagi pihak pertama (muhil):
a.       Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak meskipun ia sudah mengerti (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang yang gila.
b.      Ada pernyataan persetujuan (ridha). 
2)      Pihak kedua (muhal) adalah pihak yang berpiutang. Adapun syarat bagi pihak kedua (muhal) yaitu:
a.       Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu balig dan berakal, sebagaimana pihak pertama (muhil)
b.      Kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan.
3)      Pihak ketiga (muhal‘alaih) adalah pihak yang berutang dan berkewajiban membayar utang kepada muhil.
4)      Utang muhil kepada muhal (muhal bih 1) dan utang muhal’alaih kepada muhil (muhal bih 2). Adapun syarat terhadap utang yang dialihkan (muhal bih) adalah:
a.       Yang dialihkan adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang piutang yang pasti.
Jika yang dialihkan  itu belum merupakan utang piutang yang pasti, misalnya mengalihkan  utang yang timbul  akibat jual beli  yang masih berada  dalam masa khiyar (tenggang waktu yang dimiliki pihak penjual  dan pembeli untuk mempertimbangkan  apakah  akad  jual beli  dilanjutkan  atau dibatalkan), maka hiwalah tidak sah. Ulama sepakat bahwa persyaratan  ini berlaku  pada utang  pihak pertama kepada pihak kedua. Mengenai  utang pihak ketiga  kepada pihak pertama, ulama Maliki, Syafi’i dan Hanbali juga memberlakukan persyaratan ini, tetapi ulama  dari Hanafi tidak memberlakukannya.[7]
b.      Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah, semua ulama fikih sepakat bahwa baik utang muhil kepada muhal maupun muhal ‘alaih kepada muhil harus sama jumlah dan kualitasnya.
Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (utang dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (utang dalam bentuk barang) maka hiwalah tidak sah. Tetapi apabila pengalihan itu dalam bentuk hiwalah al-muthlaqah (madzhab Hanafi). Maka kedua utang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.
a.       Madzhab Syafi’i menambahkan bahwa pembayaran kedua utang tersebut harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama, maka hiwalah tidak sah.
5)      Ijab qabul (sighat )
Adanya ash-shighah (الصيعة), yaitu dua lafadz akad yang terdiri dari ijab dan qabul dari kedua belah pihak yang melakukan hawalah.
a.       Lafadz ijab adalah segala lafadz yang mengandung makna memindahkan atau mentransfer, seperti lafadz : ahaltuka (احلتك) atau atba'tuka (أتبعتك).
b.      Lafadz qabul adalah segala lafadz yang mengandung makna persetujuan atas ijab sebelumnya. Lafadznya bisa bermacam-macam, seperti : saya setuju, saya terima, saya rela, dan sebagainya.
2.4  Macam-macam Hiwalah
Dilihat dari pengalihan utang, hiwalah juga dibagi menjadi dua, yaitu:
1)      Hiwalah Haq
Hiwalah haqq (pemindahan hak) terjadi apabila yang dipindahkan itu merupakan hak 
menuntut uang atau dengan kata lain pemindahan piutang.
2)      Hiwalah Dayn
Hawalah ini Hawalah dayn (pemindahan hutang) terjadi jika yang dipindahkan itu kewajiban       untuk membayar hutang.
Sedangkan ditinjau dari segi objek akad, ada dua jenis hiwalah yang berdasarkan pada rukun hiwalah yaitu :
1)      Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah mutlaqoh adalah seseorang memindahkan hutang pada yang lain tanpa memberikan keterangan bahwa orang tersebut harus membayar hutang yang ada padanya, kemudian orang tersebut menerimanya.
Contoh : Jika A berutang kepada B dan ketika jatuh tempo maka A lalu memindahkan pembayaran hutang kepada kepada C dan C menerimanya. Sementara C tidak punya hubungan utang-piutang kepada B. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah. Dimana orang lain menanggung hutang orang lain.[8] 
2)     Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah ini terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal ‘alaih karena yang terakhir punya utang kepada Muhil. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Contoh: A berpiutang kepada B sebesar 5 dirham.
Sedangkan B berpiutang kepada C  sebesar 5 dirham. Kemudian B memindahkan atau mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran utang B kepada A.
Dengan demikian hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakan hiwalah al-dain karena B mengalihkan kepada A menjadi kewajiban C kepada A (pemindahan utang/kewajiban).
2.5  Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya  tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil. Hal ini adalah pendapat jumhur ulama.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang kafir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebagnkrutan atau meniggal dunia ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’ alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.[9]
2.6  Berakhirnya Hiwalah
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad hiwalah akan berakhir apabila[10]:
1)      Salah satu pihak yang sedang melakukan akad itu  mem-faskh (membatalkan) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan itu akad itu, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran  utang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.
2)      Pihak ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepada pihak kedua.
3)      Pihak kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
4)      Pihak kedua menghibahkan, atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah itu kepada pihak ketiga.
5)      Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk mem­bayar utang yang dialihkan itu.
6)      Hak pihak kedua, menurut ulama Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena at-tawa, yaitu: pihak ketiga mengalami trans (muftis, bangkrut), atau wafat dalam keadaan mutlis atau, dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad hiwalah, pihak ketiga mengingkari akad itu.
Sedangkan menurut ulama Maliki, Syafil dan Hanbali, selama akad hiwalah sudah berlaku tetap, karena persyaratan yang ditetapkan sudah tepenuhi, maka akad hiwalah tidak dapat berakhir karena at-tawa.  Dengan kata  pihak kedua tidak dapat menuntut pengembalian hak meminta pem­bayaran utang kepada pihak pertama, dengan alasan ia tidak berhasil mendapatkan pelunasan utang dari pihak ketiga.
2.7  Pengertian dan Hukum Kafalah
Al-kafalah menurut bahasa artinya, menngabungkan, jaminan, beban, dan tanggungan. Kafalah juga disebut dengan al-dhaman.
Menurut istilah syara’ sebagaimana didefinisikan oleh para ulama’[11]:
1.      Menurut habsyi Ash-shiddiqi
Artinya: “menggabungkan dhimmah (tanggung jawab) kepada dhimmah yang lain dalam penagihan”.
2.      Menurut madzhab Syafi’i
Artinya : “ akad yang menetapkan hak pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya”.
3.      Menurut hanafiyah
Artinya: ““Menggabungkan dzimah (Tanggungan atau beban) kepada dzimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, utang, atau zat benda”.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kafalah atau dhaman adalah transaksi yang menggabungkan dua tanggungan (beban) untuk memenuhi kewajiban baik berupa utang, uang, barang, pekerjaan, maupun badan.
2.8  Dasar Hukum Kafalah
Kafalah merupakan bentuk kegioatan sosial yang disyariatkan oleh al-qur’an dan hadist. Nash yang dapat dijadikan dasar klafalah yaitu al-qur’an ayat yusuf ayat 72
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ (72)
Artinya : penyeru penyeru itu berkata: kami kehilangan piala raja, dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memmperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin keberadaannya, (QS:12/72)
Dalam hadist Nabi
Artinya : “ pinjaman hendaknya dikembalikan dan orang yang menjamin wajib untuk membayar” . (HR.Abu Daud dab Turmudzi)
2.9  Rukun dan Syarat Kafalah
           Ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi kafalah.
1.      Kafiil, yang dimaksudkan adalah orang berkewajiban melakukan tanggungan (makfuul bihi). Orang yang bertindak sebagai kafiil disyaratkan adalah orang dewasa (baligh), berakal, berhak penuh untuk bertindak dalam urusan hartanya, dan rela dengan kafalah. Kafiil idak boleh orang gila dan anak kecil sekalipun ia telah dapat membedakan sesuatu (tamyiz) . kafiil juga dapat disebut dhamin (orang yang menjamin), zaim (penanggung jawab), haamil (orang yang menaggung beban) atau qabil (orang yang menerima)
2.      Ashiil/makful anhu yaitu orang yang berhutang, yaitu orang yang ditanggung. Tidak disyaratkan baligh, berakal, kehadiran, dan kerelaanya dengan kafalah.
3.      Makful lahu yaitu orang yang memberi utang (berpiutang). Disyaratkan diketahiu dan dikenal oleh orang yang menjamin hal ini supaya lebih mudah dan displin
4.      Makful bihi yaitu sesuatu yang dii jamin berupa orang atau barang atau pekerjaan yang wajib di penuhi oleh orang yang keadaanya di tanggung (ashiil/makful anhu).
5.      Lafadz yaitu lafal yang menunjukkan arti menjamin.
Dijelaskan oleh sayyid sabiq bahwa kafalah dapat dinyatakan sahdengan menggunakan lafal sebagai berikut: “aku menjamin si A sekarang”,“aku tanggung atau aku jamin atau aku tanggulangi atau sebagai penaggung untukmu. Semua ucapan ini dapat dijadikan sebagai pernyataan kafalah.
Apabila lafadz kafalah telah dinyatakan maka hal itu mengikat pada hutang yang akan diselesaikan. Artinya : utang tersebut wajib dilunasi oleh kafiil secara kontan atau kredit. Jika utang itu harus dibayar kontan si kafiil dapat meminta syarat penundaan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dibenarkan berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW menanggung 10 dinar yang diwajibkan membayarnya selama satu bulan, beliau melakukannya.
2.10   Macam-Macam Kafalah
Secara garis besar kafalah dibedakan menjadi dua:

a.       Kafalah dengan jiwa disebut juga jaminan muka. Yaitu keharusan bagi si kafiil untuk menghadirkan orang yang dia tanggung kepada orang yang ia janjikan tanggungan. (makful lahu/orang yang berpiutang). Jika persoalannya menyangkut kepada hak manusia maka orang yang dijamin tidak mesti mengetahui persoalan karna ini menyangkut badan bukab harta.
Menurut pendapat yang jelas sebagaimana dijelaskan oleh imam Taqiyyudin, sah hukumnya menangguing badan orang yang wajib menerima hukuman yang menjadi hak anak adam seperti qishas dan qadzaf.
Jika orang yang ditanggung itu harus menerima hukuman yang menjadi hal Allah seperti had zina dan had khamar maka kafalah tidak dibenarkan berdasarkan hadist Nabi :
Artinya : “tidak ada kafalah dalam masalah had”. (HR.Baihaqi)
b.       Kafalah harta yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh kafiil dengan pemenuhan berupa harta.
Kafalah dengan harta ini terbagi lagi menjadi:
a.       Kafalah bi al-dain
Yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan orang lain. Hal ini didasari oleh hadist Nabi. Qatadah berkata:
Artinya :” wahai Rasulullah sholatkalah dia dan saya yang berkewajiban untuk membayar hutangnya, lalu Rasulullah menshalatkannya”. (HR. Bukhori).

Disyaratkan dalam utang tersebut sebagai berikut:
1.      Hendaknya nilai utang tersebut tetap pada waktu terjadi transaksi jaminan seperti utang qiradh, upah atau mahar, seperti seseorang berkata “juallah benda ini kepada si A dan aku berkewajiban menjamin pembayarannya dengan harta sekian. Maka harga penjualan tersebut jelas.
2.      Barangnya diketahui, menurut Syafi’i dan Ibnu Hazm. Maka tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui karena itu termasuk ghoror. Tetapi menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
b.      Kafalah dengan menyerahkan materi
Yaitu kewajiban menyerahkan benda tertentu yang ada di tangan orang lain seperti menyerahkan barang jualan kepada si pembeli, mengembalikan barang yang dighasab dan sebagainya.
c.       Kafalah dengan aib
Yaitu menjamin barang, dikhawatirkan benda yang akan dijual tersebut terdapat masalah atau aib dan cacat (bahaya) karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lain. Maka si kafiil bertindak sebagai penjamin bagi si pembeli. Seperti jika tampak bukti bahwa barang yang dijual adalah milik orang lain bukan milik penjual atau barang itu sebenarnya barang gadaian yang hendak dijual.
2.11 Pembayaran Kafiil
             Jika kafiil (pemjamin) telah melaksanakan kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin (makful anhu) maka si kafiil boleh meminta kembali kepada makful anhu apabila pembayaran itu dilakukan berdasarkan izinnya. Alasannya, karena si kafiil telah mengeluarkan harta untuk kepentingan yang bermanfaat bagi si makful anhu. Dalam hal ini keempat imam sepakat. Namun mereka berbeda pendapat jika pembayaran yang dilakukan kafiil tanpa seizin makful anhu, sedangkan si kafiil sudah terlanjur membayar.
             Menurut Syafi’i dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang yang dijamin tanpa izin darinya hukumnya sunnah. Dhamin (kafiil) tidak berhak untuk minta ganti rugi kepada kepada orang yang ia jamin. Tetapi menurut Maliki dhamin berhak menagih kembali kepada makful anhu.
             Ibnu Hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih kembali kepada makful anhu atas apa yang telah ia bayarkan baik dengan izin makful anhu atau tidak.
Jika makful anhu ghaib (tidak ada) kafiil tetap berkewajiban menjamin. Ia tidak dapat mengelak dari kafalah kecuali dengan membayar atau orang yang berpiutang menyatakan bebas untuk kafiil dari utang makful anhu.[12]
2.12  Hikmah Kafalah
              Dhaman (jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan pada hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan bagi semua orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era sekarang ini kafalah ialah asuransi. Hikmah yang dapat diambil dari kafalah adalah mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan kepastian dalam bertransaksi.
             Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry’ dari kafalah untuk memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang, harta, dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau benda yang dipinjam.

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
1.      Hiwalah adalah pemindahan hak menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak yang memberi utang. Sedangkan kafalah atau dhaman adalah transaksi yang menggabungkan dua tanggungan (beban) untuk memenuhi kewajiban baik berupa utang, uang, barang, pekerjaan, maupun badan.
2.      Rukun Hiwalah ada 5 yaitu: 
a.       Pihak pertama (muhil) adalah pihak yang berutang dan berpiutang.
b.      Pihak kedua (muhal) adalah pihak yang berpiutang.
c.       Pihak ketiga (muhal‘alaih) adalah pihak yang berutang dan berkewajiban membayar utang kepada muhil.
d.      Utang muhil kepada muhal (muhal bih 1) dan utang muhal’alaih kepada muhil
e.       Ijab qabul (sighat )
3.      Sedangkan rukun Kafalah ada 5 yaitu :
a.       Kafiil adalah orang yang menanggung atau menjamin.
b.      Ashiil/Makful Anhu adalah orang yang berhutang (orang yang ditanggung).
c.       Makful Lahu adalah orang yang berpiutang.
d.      Makful Bihi adalah sesuatu yang dijamin berupa orang atau barang atau pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh orang yang keadaannya ditanggung (Ashiil/Makful Anhu).
e.       Lafal yaitu lafal yang menunjukkan arti menjamin.
4.      Ada 2 macam Hiwalah yaitu :
a.       Hiwalah Mutlaqah
b.      Hiwalah Muqayyadah
5.      Sedangkan Kafalah ada 3 macam yaitu :
a.       Kafalah Jiwa
b.      Kafalah Harta
c.       Kafalah Aib


DAFTAR PUSTAKA

Nawawi, Ismail. 2010. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya.
Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.






[1]Lihat,al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hal. 210.
[2]Ibid.
[3] Lihat, Kifayah al-Akhyar, hal. 274.
[4] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 222.
[5] Bermuamalah ialah seperti berjual-beli, utang-piutang atau sewa-menyewa dan sebagainya.
[6] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dkk. Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal 255.
[7] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hal 225.
[8] Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya, 2010), hal 307.
[9] Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hal. 44.
[10] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hal 226-227.
[11] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dkk, Fiqh Muamalat, hal 205.
[12] Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, hal 380.

Comments