Rinai Bisikan Dalam Mimpi

            Ini adalah cerpen yang aku ikutkan lomba menulis cerpen sastra hijau 2014. Yah, walaupun tidak  tidak sampai masuk menjadi yang utama tapi tidak masalah. Toh, masa depan masih di ujung pena. Iya, kan? ^^

Jendela kaca masih berbenturan dengan butiran-butiran bening dari langit. Dinding warna coklat pun berubah basah. Lembab. Tanaman-tanaman hijau di halaman kembali hidup. Tanda tak pernah terguyur air sejak lama. Di sudut ruangan kecil berbentuk persegi. Jam terus berjalan tanpa henti. Suara degup jantung semakin terdengar. Layar monitor masih menyala tanpa ada alunan ketukan keyboard. Jam sudah menunjukkan angka 12 siang. Orang itu masih terduduk di depan meja belajarnya tanpa memalingkan wajah dari tatapan tajam  sebuah layar putih. Tepat jari-jemarinya berada di atas kotak-kotak bertuliskan huruf alphabet masih menanti. Ia masih bergulat dengan alam pikirannya. Memori dalam otaknya terus bergelayut memusingkan.
            Tiba-tiba jari-jemarinya bergerak dan mulai menekan satu-persatu alphabet yang tertera di atas keyboard. Tetapi selang beberapa detik kemudian berhenti. Hanya satu kata yang tertera di layar monitor itu. “aku”. Ia tak tahu harus menulis apa lagi. Sungguh sulit mengeluarkan apa yang berada dalam isi otaknya saat ini. Akhirnya, ia menghembuskan napas panjang. Ia memalingkan wajahnya ke arah sebuah buku biru di samping komputer jinjing itu. Justru di atas kertas biru muda itu dengan lihai dan bebas bulpennya menari-nari.
            “Sudah cukup lama aku tidak menulis lagi sejak kejadian di malam sabtu itu. Kini otakku sudah penuh dengan berbagai macam ungkapan. Akan tetapi, aku tidak bisa mengungkapkannya kepada siapapun. Takkan ada seorang pun di luar sana yang akan mempercayai perkataanku lagi. Seandainya aku bisa memilih, tentu bukan ini yang kuinginkan. Berbicara dengan orang lain saja sudah cukup sulit apalagi mengutarakan semua isi yang ada di kepala. Mungkin aku juga butuh refreshing agar tidak selalu menyalahkan diri dan terkurung di kamar terus-menerus“
            Ia tutup buku birunya dan beranjak membuka jendela kamarnya. Angin dingin mulai merasuki ruangan kecil di lantai 2 itu. Ditatapnya tanaman hijau di luar yang basah kuyup. Benar-benar menyejukkan dan damai. Ia pejamkan mata dan merasakan semilir angin menyentuh kulitnya. Ia rilekskan hati, pikiran dan semuanya. Tak lama kemudian, telepon genggamnya berdering. Tanda surat pesan singkat masuk. Ia masih tak berkutik dari tempatnya. Lalu beberapa menit kemudian ia ambil telepon selularnya dan mulai membuka pesan. Raut wajahnya datar-datar saja melihat pesan tersebut. Nyatanya itu adalah pesan dari ibunya yang selalu menanyakan keadaannya di sini. Setelah membalas pesan tersebut, ia membanting tubuhnya di atas kasur dan tanpa menunggu waktu yang lama, ia pun tertidur.
****
            Suara telepon selular milik orang itu berdering lagi. Dan kali ini berhasil membuatnya beranjak dari tempat tidurnya. Terlihat jam dinding telah menunjukkan angka 2 siang. Dengan sigap ia bangun dan langsung pergi menuju ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan sholat. Setelah itu ia cepat-cepat membawa tas dan alat-alat tulisnya. Kemudian ia menuruni tangga dan keluar setelah pamit kepada bibinya. Ia kayuh sepeda itu cepat. Ia tergesa-gesa. 5 menit kemudian ia berhenti di tepi jalan. Ia melihat dari kejauhan seorang anak di depan sebuah toko roti sederhana. Anak kecil itu terus memandang ke arah toko roti tanpa bergeming sedikitpun dari tempatnya. Sang pemilik yang keluar dari toko itu merasa kesulitan untuk mengusirnya. Kemudian ia mendekati anak kecil dan Si pemilik toko tersebut. Lalu ia menanyakan keadaan yang terjadi diantara mereka. Sang pemilik toko itu  pun bercerita kepada orang itu dengan  sedikit kesal.
            “ Aku yang akan membayarnya, pak. Jadi, tolong beri dia roti ya! ” Kata orang itu kemudian. Akhirnya, setelah anak kecil itu mendapatkan apa yang dia inginkan, dirinya langsung pergi tanpa berterima kasih kepada orang yang telah membelikannya tersebut.
            “ Makanya, kamu lihatlah dulu orang yang akan kamu tolong sebelum kamu menolongnya. Lihat apa yang telah dia lakukan padamu! ” Pesan si pemilik toko tiba-tiba sebelum dia kembali masuk ke tokonya. Tapi orang itu tetap tersenyum sambil melihat anak kecil yang sedang berlari dari kejauhan. Lalu ia melanjutkan perjalanannya.
            Langit telah berubah warna menjadi kemerah-merahan. Burung-burung pun terbang berkelompok dan kembali ke sarangnya masing-masing. Angin sore  berhembus halus mengayunkan kerudung merahnya. Ia kayuh kembali sepedanya hingga sampailah ia di sebuah taman kecil. Ia turun dari sepeda dan memarkirkannya di bawah pohon yang cukup besar di samping sebuah bangku  taman panjang. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari dengan gembira sambil sesekali para orang tua yang sedang bercengkrama ikut mengawasi mereka. Orang di bawah pohon itu memandangi keadaan taman dan terlihat sangat menikmatinya. Belaian lembut angin sore itu membuatnya memejamkan mata. Selang 15 menit kemudian, orang itu dibangunkan oleh tetesan air yang jatuh di atas pipinya. Tetesan-tetesan air dari langit  turun semakin deras dan mengguyur seisi tanaman di taman desa kecil itu. Tiba-tiba suara bergemuruh datang dari sisi utara taman. Orang-orang yang berada di taman terlihat panik ketika seorang kakek tua datang dan mengatakan bahwa telah terjadi longsor di atas bukit dengan membawa genangan air yang cukup besar. Semua orang berlarian tunggang-langgang menyelematkan diri mereka masing-masing. Tanpa pikir panjang, orang itu segera menaiki sepedanya dan mengayuhnya cepat. Akan tetapi ketika ia memasuki jalan besar yang terbentang di luar taman, terlihat anak kecil yang sudah tak asing lagi baginya sedang berdiri di tepi kanan jalan. Ia melihat taman itu tanpa ikut menyelamatkan dirinya seperti orang-orang yang berlarian di sekelilingnya. Orang itu tertegun sejenak lalu mendekati anak laki-laki itu.
            “ Hey, kenapa kamu tidak pergi dari sini? Kamu tahu kan kalau banjir akan datang? Ayo cepat naik ke sepedaku sekarang! “ Ajak orang itu untuk menunggangi sepedanya. Anak kecil itu hanya menatap dan  memandangnya agak lama.
            “ Kakak orang baru di desa ini, kan? “ Tanya anak kecil itu tiba-tiba dan berhasil membuatnya terkejut. Memang sudah 1 minggu ini ia baru saja pindah ke desa kecil di bawah bukit ini. Dirinya bahkan belum mengenal penduduk di desa ini secara keseluruhan. Akan tetapi, ia cukup terkejut melihat anak kecil yang baru saja ditemuinya ini sudah mengenalnya lebih dahulu. Karena hujan turun semakin deras dan dirinya sudah basah kuyup sekarang, Ia tidak terlalu memikirkan rasa penasarannya. Dengan segera ia meminta anak laki-laki itu untuk cepat menaiki sepedanya. Tanpa pikir panjang, anak itu mengikuti saran orang di sampingnya ini.  Jalanan desa kini menjadi basah dan air mulai menggenangi daerah kecil ini. Akhirnya keduanya sampai di depan rumah kecil berlantai dua. Orang itu lalu mengajak anak kecil tersebut berteduh di tempatnya sejenak.
            “ Karena hujan masih turun deras, lebih baik kamu tinggal disini dulu ya? “
            “ Nama kakak Sekar, kan? Apa kakak tinggal sendirian di sini? “ Jawaban dari anak kecil itu sekali lagi membuatnya terkejut.
            “ Kamu tahu namaku? Aku saja belum tahu namamu. Sudahlah jangan banyak bicara lagi, ayo kita masuk sekarang! “
            “ Namaku Dimas, kak. Kakak tidak usah takut. Ceritanya panjang. Oh ya, terima kasih  juga atas rotinya tadi sore ya, kak! “ Ucap anak bernama Dimas sambil tersenyum riang kepada Sekar. Tanpa menunggu angin dingin semakin menusuk kulit, keduanya segera masuk ke dalam rumah.
***
            Rintik-rintik air hujan semakin berkurang. Genangan air dari atas bukit telah memenuhi jalanan desa. Akan tetapi kini genangan air tersebut sudah semakin berkurang karena posisi desa yang letaknya tidak jauh dari sungai. Entah mengapa Sekar pada saat itu terbangun dari tidurnya. Ia melihat Dimas sudah tidak berada di atas kursi. Kemudian ia pergi ke lantai bawah dan menemukan Dimas sedang melihat ke arah luar jendela. Gadis itu mendekatinya.
            “ Apa kakak tidak ingin tahu apa yang dilakukan orang-orang di luar sana? “ Saran Dimas tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Awalnya Sekar merasa ragu karena ia tidak ingin suara aneh itu datang lagi. Meskipun demikian, pada akhirnya ia memberanikan diri untuk pergi keluar rumah melihat banyak orang telah bergerombolan di sungai. Mereka terlihat saling merebutkan sesuatu. Ternyata di jalanan tepi sungai ada beberapa ranting dan kayu yang berserakan. Masyarakat terlihat senang sekali. Ya, pesta kayu. Kali ini mereka tak perlu lagi susah-susah untuk mencari kayu di hutan. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang dialami Sekar. Ketika orang lain merasakan kegembiraan, dirinya justru tidak demikian. Tiba-tiba saja ia mendengar sayup-sayup suara dari beberapa tanaman hijau di sekitarnya. Hal ini persis seperti yang dialami Sekar pada saat malam sabtu itu. Entah bagaimana hal  ini dapat terjadi, tapi itu adalah saat ia hanya dapat mendengar jeritan suara tanaman untuk pertama kalinya.
            “ Apa yang telah kalian lakukan pada kami? “
            “ Seenaknya saja kalian mengambil kami tanpa mengetahui penderitaan kami yang sia-sia! “
            Sekar merasa aneh dan panik seketika. Ia lalu mendekati sepotong ranting di sana untuk memastikan pendengarannya. Sekali lagi ia mendengar ucapan ranting itu yang tidak mengenakkan di telinganya. Ketika dirinya sedang kalut. Ia merasakan sesuatu melingkar di kakinya. Ia terkejut dan hendak pergi dari sana. Akan tetapi, ia tetap tidak bisa meloloskan diri dari cengkraman ranting kecil itu. Tiba-tiba ia mendengarkan suara yang sangat jelas merasuk ke dalam telinganya lagi.
            “ Jangan takut. Sebenarnya kami hanya ingin keadilan. Itu saja! Tolong bantulah kami! “ Pinta suara ranting dari sebongkah kayu yang melilit kaki Sekar. Tangan yang menutup wajahnya masih bergetar tak karuan. Kemudian seseorang menarik bajunya. Dengan agak sedikit takut, ia pun membuka tangannya dan melihat Dimas berada di hadapannya sekarang.
            “ Kak, coba dengarkan dengan seksama apa yang mereka inginkan. kuharap kamu mau membantu mereka. Sekali ini saja! “ Ujar Dimas memohon seraya mengatupkan kedua tangannya.
            “ Apa kamu juga bisa mendengar suara mereka, Dimas? “
            “ Tidak. Aku tidak bisa. Tapi aku tidak menganggap kak Sekar sebagai orang gila. Aku tahu itu karena aku punya feeling yang kuat. Tapi aku mohon kakak untuk membantu mereka. Percayalah padaku, kak! “ Dimas memohon dengan sungguh-sungguh kepada gadis bernama Sekar tanpa menghiraukan hiruk-pikuk masyarakat sekitar.
            “ Memangnya aku harus bagaimana? Aku juga tidak tahu, Dimas! “
            “ Coba kakak tanyakan pada ranting di bawah kaki kakak ini. Ini memang aneh tapi cobalah dulu, kak! “ Saran anak laki-laki ini sambil menggenggam erat bajunya.
Akhirnya setelah mengumpulkan segala keberanian dalam dirinya, Sekar menghembuskan napas dan mendudukkan dirinya di atas tanah. Ia pun mulai bertanya akan keinginan kayu yang melingkar di kaki kirinya.
            “ Keadilan apa yang kamu maksudkan, kayu? “
            Tanpa menunggu waktu yang lama, kayu itu mulai bercerita perihal kejadian yang dialaminya sekarang ini.
            “ Sebenarnya kami mau bahkan rela ditebang oleh manusia. Akan tetapi, setidaknya manusia juga mau untuk meregenerasi kami lagi. Kalian dapat menanam bibit-bibit tanaman baru, kan? Dan sekali lagi, kami minta tolong untuk tidak menyimpan kami di tengah hutan begitu saja usai menebang kami. Sehingga jika terjadi longsor nanti, kami tidak perlu membawa tanaman lain yang tidak bersalah. Kami harap kita sebagai sesama makhluk hidup bisa saling bekerja sama untuk saling menjaga keseimbangan alam di muka bumi ini! “ Terang sebongkah kayu gelondongan kepada Sekar mewakili sesama gelondong kayu lainnya di sana. Suara riuh kembali terdengar. Mereka mendukung penjelasan sebongkah kayu gelondong di samping Sekar. Sekar menutup telinga dan menutup rapat matanya berharap ini adalah mimpi. Lalu sebuah tangan menyentuh lengannya. Lingkaran ranting yang melilit kaki kirinya telah mengendur.
            “ Aku berjanji akan membantu kakak semampunya! “ Mendengar jawaban dari anak kecil ini, Sekar membuka matanya dan menatapnya kesal. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan tanaman hijau ini.
            “ Memangnya ada hubungan apa kamu dengan semua kayu-kayu ini? Bukankah nasib mereka memang demikian? Kalau kamu memang mau membantu, ya bantu saja sendiri! Aku pergi saja! “ Ucap Sekar kemudian bangkit dan meninggalkan anak kecil di sampingnya.
            “ Tapi aku juga punya hati, kak. Semua buku, guru, dan orang tuaku juga mengatakan hal yang sama untuk menyayangi mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hanya saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena aku masih kecil! “ Mendengar ucapan dari anak itu, Sekar berhenti sejenak dan membalikkan badannya. Ia menatap lekat-lekat anak laki-laki ini. Sebenarnya dalam hatinya yang terdalam, anak ini telah menyentuh perasaannya. Meskipun dengan berat hati, tak lama kemudian sebuah garis lengkung terukir di bibirnya.
***
            Tangan gadis bernama Sekar kini sedang menari-nari di atas keyboard laptopnya. Ketika dengan ucapannya tidak berhasil meyakinkan kepala desa di tempat ini, ia berharap semoga dengan tulisannya ia tidak dianggap sebagai orang yang aneh. Dengan lihai ia menggambarkan seluruh perasaan para kayu dan setiap tanaman yang didengarnya. Kini ia percaya bahwa kemampuan uniknya ini memang istimewa dan merupakan sebuah anugerah. Ia tidak menginginkan orang lain untuk mengakuinya, hanya mendengarkannya saja itu sudah cukup baginya.
***
            Percayalah. Setiap pagi entah berapa kali dalam seminggu beberapa kendaraan besar datang. Mereka tak mengenal tempat dan waktu. Yang pasti setiap kedatangan mereka ke tempat ini, salah satu dari kami pasti akan pergi meninggalkan habitat kami. Rimbunnya tempat kami membuat para burung singgah sambil menceritakan perjalanan mereka. Bahkan terkadang beberapa burung bercerita mengenai keberadaan kawanan kami yang dibawa oleh kendaraan-kendaraan besar ke kota. Hari-hari berlalu, keberadaan para penebang kayu sudah menjadi hal yang biasa bagi kami. Hingga pada suatu hari terjadi sebuah kejadian yang tidak terduga. Mereka mengumpulkan dan menelantarkan kami begitu saja usai menebang kami meskipun sebagian dari kami sudah diangkutnya. Rasa menyesal dan marah mulai meliputi jiwa para kayu kami. Ditambah lagi hutan mulai dibasahi oleh tetesan air hujan dari langit. Detik-detik waktu pun berlalu. Tak lama hujan turun semakin deras dan lebat. Terjangan angin semakin kuat hingga menerbangkan butiran-butiran air hujan. Ketika itu tanah yang telah menjadi gembur dengan mudahnya menuruni tepian bukit yang curam. Longsor pun terjadi karena tak adanya akar yang dapat menahan air. Tepi perbukitan yang dahulu dihiasi oleh pepohonan kini memang telah menjadi gundul. Meskipun di atas bukit terdapat sebuah desa kecil, tetapi tak seorangpun menghiraukan aktivitas ataupun kegiatan yang terjadi di hutan ini. Hal inilah yang pada akhirnya mengakibatkan kami mudah terhanyut oleh aliran deras banjir. Tak  luput  pula banyak tanaman kecil ikut terbawa bersama kami dan dengan lancarnya menuruni tepian bukit. Kami tidak mengetahui jika agak jauh di bawah bukit ini terdapat pemukiman penduduk. Sebenarnya kami juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Sebagai makhluk hidup kami juga memiliki perasaan untuk tidak ingin menyakiti  ataupun mengganggu makhluk hidup lainnya. Sekalipun kami tidak bisa berkomunikasi dengan makhluk hidup selain kami, kami tidak membencinya karena kami diciptakan oleh Sang Pencipta sedemikian rupa justru untuk memberi manfaat makhluk hidup lainnya. Tetapi lain lagi dengan yang sudah terjadi hari ini. Entah apa yang berada dalam benak mereka. Apakah makhluk seperti mereka yang lain tahu apa yang sudah dilakukan mereka pada kami? Apakah mereka tidak tahu bahwa Sang Pencipta mengetahui perbuatan mereka?. Beberapa pikiran seperti itulah yang justru terlintas di pikiran kami.
***
            Usai menulis semua jeritan suara dari para makhluk hijau di depan rumahnya, Sekar segera masuk ke dalam rumah dan tertidur begitu saja di atas kursi ruang tamu. Selang beberapa menit kemudian, anak laki-laki itu mendekatinya. Kemudian ia beralih melihat layar monitor yang masih menyala di atas meja ruang tamu. Tanpa pikir panjang, ia ambil sebuah alat kecil seperti flashdisk yang terbungkus didalam plastik dari saku celananya. Lalu ia berpamitan kepada bibi Sekar yang sedang membersihkan halaman rumah. Ia juga meminta izin kepada bibi Sekar untuk meminjam sepeda sebentar. Setelah itu ia berlalu dari rumah bibi Sekar. Entah anak laki-laki itu pergi kemana tak seorangpun peduli karena penduduk di desa kecil itu tak pernah mengenalnya.
            Langit sore kini telah berubah warna. Tanda malam pun tiba. Ketika ia dan bibinya usai menunaikan sholat isya’, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Bibi Sekar segera turun ke bawah dan membukakan pintu rumahnya. Seorang laki-laki dewasa dengan seorang anak kecil yang terlihat familiar sedang berdiri di depan rumah. Bibi Sekar segera mempersilahkan keduanya masuk lalu memanggil keponakannya. Tak kurang dari 5 menit, Sekar turun dan datang menyalami ayah Dimas.
            “ Sebelumnya kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa ya malam-malam begini bapak dan Dimas mencari saya? “ Tanya Sekar penasaran dan membuka pembicaraan.
            “ Apa kamu yang bernama Sekar? “ Sekar pun mengangguk mengiyakan mendengar pertanyaan ayah Dimas.
            “ Begini kamu pasti sudah kenal dengan anak saya yang bernama Dimas ini, kan? Ya, meskipun baru mengenalnya tapi saya ucapkan terima kasih karena sudah membelikan roti tadi sore pada Dimas “ ucap ayah Dimas seraya mengeluarkan uang untuk mengganti harga roti yang sudah dibeli Dimas.
“ Ah tidak apa-apa, pak. Saya ikhlas kok. Kebetulan saja saya tadi membawa uang.  “
“ Baiklah kalau begitu. Tapi kamu tahu tidak kalau Dimas bukan dari desa ini? “
“ Sebenarnya karena saya baru tiba di sini seminggu yang lalu untuk liburan di sini. Jadi belum mengenal para penduduk di sini secara keseluruhan “
“ Oh jadi begitu, Sebenarnya dia sekarang juga sedang liburan di rumah neneknya di  desa di atas bukit sana. Tapi karena ia memang suka menjelajah jadinya sampai ke sini. Saya sendiri baru tiba di sini setelah di telepon anak saya tadi sore. Intinya saya mau berterima kasih kepada kamu, Sekar. Karena sudah membantu saya mengetahui karyawan saya yang berbuat curang. Meskipun hanya dengan sebuah tulisan, tapi saya berhasil memancing karyawan saya untuk mengakui kesalahannya. “ Mendengar penjelasan dari ayah Dimas, Sekar merasa sedikit kebingungan.
“ Ma-maksud bapak tulisan yang mana ya? Jadi bapak yang menyuruh orang-orang untuk menebang kayu di hutan? “
“ Tulisan yang kakak tulis di laptop kakak, aku copy ke flashdisk yang aku bawa saat itu. Terus aku kirim ke ayahku. Soalnya kalau tidak salah ayah kan kerjanya buat kayu-kayu jadi kursi, lemari begitu. Jadi aku cerita saja kalau ternyata ada kayu yang tidak dibawa semuanya. Jadinya tulisan kakak aku jadikan bukti ke ayah karena aku percaya kakak tidak mungkin berbohong. Tapi aku minta maaf kalau aku lancang ya, kak? “ Sahut Dimas mengakui kesalahannya dan langsung menundukkan kepalanya malu. Mendengar pengakuan dari Dimas, Sekar langsung beranjak dari kursinya dan mendekati Dimas. Ia duduk di samping Dimas.
“ Oh, jadi begitu. Ah tidak apa-apa kok, Dimas. Justru kakak berterima kasih sama kamu karena sudah membantu kakak. Dan terima kasih karena sudah percaya sama kakak. Kamu ternyata pintar juga ya, Dimas! “ Ujar Sekar seraya mengangkat wajah Dimas yang masih tertunduk dengan senyum tersungging di bibirnya. Lalu Dimas pun menatap Sekar heran.
“ Jadi kakak tidak marah sama Dimas? “ Pertanyaan Dimas membuat Sekar mengelus-elus rambut hitam Dimas.  Sekar menggelengkan kepalanya dan masih tersenyum kepada Dimas.
             “ Wah, terima kasih, kak! “ Dimas pun merangkul Sekar.
            “ Saya juga sangat berterima kasih, Sekar. Awalnya saya tidak percaya dengan tulisan kamu, tapi karena Dimas bersikukuh. Akhirnya, saya terima dan mencoba untuk menanyakan kebenarannya kepada karyawan saya dengan mempertaruhkan keberuntungan saya. Karena saya hanya mengancam mereka dengan satu bukti. Untungnya 3 karyawan saya mengakui perbuatannya karena mereka takut jika harus dilaporkan kepada polisi. “
“ Ditambah lagi nenekku juga hafal sekali truk-truk yang mengangkut kayu itu, kak. Mereka kan selalu lewat depan rumah nenek. Karena setiap mereka selesai menebang nenek selalu pergi ke hutan untuk mengambil sisa-sisa kayu. Jadi meskipun nenek sudah tua, tapi ingatannya masih hebat, kak. Keren, kan? “ Dimas menyambung penjelasan ayahnya dengan bangga.
“ Ya, ini semua memang ide Dimas. Karena ia juga mengusulkan saksi yaitu ibu saya untuk menyudutkan mereka. Meskipun saya agak ragu, tapi ternyata idenya memang berhasil. Ketiganya tidak saya laporkan polisi tetapi mereka saya pindahkan ke tempat yang lain. “
            “ Wah, kamu memang jenius, Dimas! Apa kamu suka membaca atau menonton film detektif-detektif itu? “ Dimas mengangguk dengan mantap dan tersenyum lebar.
            “ Ya, aku suka sekali detective conan, kak! “
            Ketika Sekar sedang diselimuti perasaan gembiranya, tiba-tiba suara 3 oktaf ibunya membangunkannya dari mimpi.
            “ Sekar!! Sekar!! Ayo cepat bangun dan turun sarapan! Ibu tidak mau tahu kalau kuliahmu telat lho! “ Mendengar suara itu, ia langsung melihat ke arah jam di dinding kamarnya. Jam masih menunjukkan angka 6.30 pagi. Dan dirinya ternyata tertidur di atas meja belajar dan tangannya masih berada di atas keyboard. Layar monitor masih menyala. Dan ia belum menulis apapun untuk tugas esainya hari ini. Hanya tertera tulisan “ aku “ di lembaran putih Microsoft Wordnya. Ia lalu menatap kalender di samping laptopnya.
            “ Aish, ternyata itu semua hanya mimpi! Liburan di tempatnya bibi masih kurang 1 minggu lagi. Aduh, bagaimana ini? Deadline tugas akhirnya hari ini! “
            “ Sekar!! Ayo cepat turun! “ Sekali lagi suara ibunya kali ini benar-benar mengagetkannya. Dengan segera ia menutup laptopnya dan membawa tasnya lalu turun menemui ibunya.
            “ Bu, aku langsung berangkat ya! “ Ia berpamitan dengan ibunya. Tapi ternyata ibunya tidak melepaskan genggaman tangannya.
            “ Kamu mau kemana? Ini kan hari minggu. Kamu ada kuliah hari minggu, Sekar? “
            “ Lho kan tadi ibu bilang.. “
            “ Itu biar kamu cepat turun dan sarapan. Sudahlah ayo kita sarapan sekarang. Lihat adik dan ayahmu sudah daritadi menunggumu! “
            “ Syukurlah kalau begitu. Aku masih selamat dari Mr. Deadline! “ ujar Sekar dengan gembira dan segera menuju kursinya untuk sarapan. Melihat tingkah putrinya yang satu ini kedua orang tua Sekar hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “ Makanya nonton Conan terus, kak. Biar selalu telat! “ celetuk adik laki-lakinya membuat seisi ruangan tertawa dibuatnya. Tunggu dulu, Sekar melihat wajah adiknya yang ini terlihat sudah familiar. Oh tidak, dia mirip dengan Dimas dan ia tidak menyadarinya. Jadi, itu semua memang benar-benar hanya sebuah mimpi!      

.

Comments