Ini adalah cerpen yang aku ikutkan lomba menulis cerpen sastra hijau 2014. Yah, walaupun tidak tidak sampai masuk menjadi yang utama tapi tidak masalah. Toh, masa depan masih di ujung pena. Iya, kan? ^^
Jendela kaca masih berbenturan dengan butiran-butiran bening dari langit. Dinding warna coklat pun berubah basah. Lembab. Tanaman-tanaman hijau di halaman kembali hidup. Tanda tak pernah terguyur air sejak lama. Di sudut ruangan kecil berbentuk persegi. Jam terus berjalan tanpa henti. Suara degup jantung semakin terdengar. Layar monitor masih menyala tanpa ada alunan ketukan keyboard. Jam sudah menunjukkan angka 12 siang. Orang itu masih terduduk di depan meja belajarnya tanpa memalingkan wajah dari tatapan tajam sebuah layar putih. Tepat jari-jemarinya berada di atas kotak-kotak bertuliskan huruf alphabet masih menanti. Ia masih bergulat dengan alam pikirannya. Memori dalam otaknya terus bergelayut memusingkan.
Jendela kaca masih berbenturan dengan butiran-butiran bening dari langit. Dinding warna coklat pun berubah basah. Lembab. Tanaman-tanaman hijau di halaman kembali hidup. Tanda tak pernah terguyur air sejak lama. Di sudut ruangan kecil berbentuk persegi. Jam terus berjalan tanpa henti. Suara degup jantung semakin terdengar. Layar monitor masih menyala tanpa ada alunan ketukan keyboard. Jam sudah menunjukkan angka 12 siang. Orang itu masih terduduk di depan meja belajarnya tanpa memalingkan wajah dari tatapan tajam sebuah layar putih. Tepat jari-jemarinya berada di atas kotak-kotak bertuliskan huruf alphabet masih menanti. Ia masih bergulat dengan alam pikirannya. Memori dalam otaknya terus bergelayut memusingkan.
Tiba-tiba
jari-jemarinya bergerak dan mulai menekan satu-persatu alphabet yang tertera di
atas keyboard. Tetapi selang beberapa detik kemudian berhenti. Hanya satu kata
yang tertera di layar monitor itu. “aku”.
Ia tak tahu harus menulis apa lagi. Sungguh sulit mengeluarkan apa yang berada
dalam isi otaknya saat ini. Akhirnya, ia menghembuskan napas panjang. Ia
memalingkan wajahnya ke arah sebuah buku biru di samping komputer jinjing itu.
Justru di atas kertas biru muda itu dengan lihai dan bebas bulpennya menari-nari.
“Sudah cukup lama aku tidak menulis lagi sejak
kejadian di malam sabtu itu. Kini otakku sudah penuh dengan berbagai macam
ungkapan. Akan tetapi, aku tidak bisa mengungkapkannya kepada siapapun. Takkan
ada seorang pun di luar sana yang akan mempercayai perkataanku lagi. Seandainya
aku bisa memilih, tentu bukan ini yang kuinginkan. Berbicara dengan orang lain
saja sudah cukup sulit apalagi mengutarakan semua isi yang ada di kepala.
Mungkin aku juga butuh refreshing agar tidak selalu menyalahkan diri dan
terkurung di kamar terus-menerus“
Ia tutup buku
birunya dan beranjak membuka jendela kamarnya. Angin dingin mulai merasuki
ruangan kecil di lantai 2 itu. Ditatapnya tanaman hijau di luar yang basah
kuyup. Benar-benar menyejukkan dan damai. Ia pejamkan mata dan merasakan
semilir angin menyentuh kulitnya. Ia rilekskan hati, pikiran dan semuanya. Tak
lama kemudian, telepon genggamnya berdering. Tanda surat pesan singkat masuk.
Ia masih tak berkutik dari tempatnya. Lalu beberapa menit kemudian ia ambil
telepon selularnya dan mulai membuka pesan. Raut wajahnya datar-datar saja melihat
pesan tersebut. Nyatanya itu adalah pesan dari ibunya yang selalu menanyakan
keadaannya di sini. Setelah membalas pesan tersebut, ia membanting tubuhnya di
atas kasur dan tanpa menunggu waktu yang lama, ia pun tertidur.
****
Suara telepon selular milik orang itu berdering lagi. Dan
kali ini berhasil membuatnya beranjak dari tempat tidurnya. Terlihat jam dinding
telah menunjukkan angka 2 siang. Dengan sigap ia bangun dan langsung pergi
menuju ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan sholat. Setelah itu ia
cepat-cepat membawa tas dan alat-alat tulisnya. Kemudian ia menuruni tangga dan
keluar setelah pamit kepada bibinya. Ia kayuh sepeda itu cepat. Ia
tergesa-gesa. 5 menit kemudian ia berhenti di tepi jalan. Ia melihat dari
kejauhan seorang anak di depan sebuah toko roti sederhana. Anak kecil itu terus
memandang ke arah toko roti tanpa bergeming sedikitpun dari tempatnya. Sang
pemilik yang keluar dari toko itu merasa kesulitan untuk mengusirnya. Kemudian
ia mendekati anak kecil dan Si pemilik toko tersebut. Lalu ia menanyakan
keadaan yang terjadi diantara mereka. Sang pemilik toko itu pun bercerita kepada orang itu dengan sedikit kesal.
“ Aku yang akan
membayarnya, pak. Jadi, tolong beri dia roti ya! ” Kata orang itu kemudian.
Akhirnya, setelah anak kecil itu mendapatkan apa yang dia inginkan, dirinya
langsung pergi tanpa berterima kasih kepada orang yang telah membelikannya
tersebut.
“ Makanya, kamu
lihatlah dulu orang yang akan kamu tolong sebelum kamu menolongnya. Lihat apa
yang telah dia lakukan padamu! ” Pesan si pemilik toko tiba-tiba sebelum dia
kembali masuk ke tokonya. Tapi orang itu tetap tersenyum sambil melihat anak
kecil yang sedang berlari dari kejauhan. Lalu ia melanjutkan perjalanannya.
Langit telah
berubah warna menjadi kemerah-merahan. Burung-burung pun terbang berkelompok
dan kembali ke sarangnya masing-masing. Angin sore berhembus halus mengayunkan kerudung merahnya.
Ia kayuh kembali sepedanya hingga sampailah ia di sebuah taman kecil. Ia turun
dari sepeda dan memarkirkannya di bawah pohon yang cukup besar di samping
sebuah bangku taman panjang. Anak-anak
kecil berlarian kesana-kemari dengan gembira sambil sesekali para orang tua
yang sedang bercengkrama ikut mengawasi mereka. Orang di bawah pohon itu
memandangi keadaan taman dan terlihat sangat menikmatinya. Belaian lembut angin
sore itu membuatnya memejamkan mata. Selang 15 menit kemudian, orang itu
dibangunkan oleh tetesan air yang jatuh di atas pipinya. Tetesan-tetesan air
dari langit turun semakin deras dan
mengguyur seisi tanaman di taman desa kecil itu. Tiba-tiba suara bergemuruh
datang dari sisi utara taman. Orang-orang yang berada di taman terlihat panik
ketika seorang kakek tua datang dan mengatakan bahwa telah terjadi longsor di
atas bukit dengan membawa genangan air yang cukup besar. Semua orang berlarian
tunggang-langgang menyelematkan diri mereka masing-masing. Tanpa pikir panjang,
orang itu segera menaiki sepedanya dan mengayuhnya cepat. Akan tetapi ketika ia
memasuki jalan besar yang terbentang di luar taman, terlihat anak kecil yang
sudah tak asing lagi baginya sedang berdiri di tepi kanan jalan. Ia melihat
taman itu tanpa ikut menyelamatkan dirinya seperti orang-orang yang berlarian
di sekelilingnya. Orang itu tertegun sejenak lalu mendekati anak laki-laki itu.
“ Hey, kenapa kamu
tidak pergi dari sini? Kamu tahu kan kalau banjir akan datang? Ayo cepat naik
ke sepedaku sekarang! “ Ajak orang itu untuk menunggangi sepedanya. Anak kecil
itu hanya menatap dan memandangnya agak
lama.
“ Kakak orang baru
di desa ini, kan? “ Tanya anak kecil itu tiba-tiba dan berhasil membuatnya
terkejut. Memang sudah 1 minggu ini ia baru saja pindah ke desa kecil di bawah
bukit ini. Dirinya bahkan belum mengenal penduduk di desa ini secara
keseluruhan. Akan tetapi, ia cukup terkejut melihat anak kecil yang baru saja
ditemuinya ini sudah mengenalnya lebih dahulu. Karena hujan turun semakin deras
dan dirinya sudah basah kuyup sekarang, Ia tidak terlalu memikirkan rasa
penasarannya. Dengan segera ia meminta anak laki-laki itu untuk cepat menaiki
sepedanya. Tanpa pikir panjang, anak itu mengikuti saran orang di sampingnya
ini. Jalanan desa kini menjadi basah dan
air mulai menggenangi daerah kecil ini. Akhirnya keduanya sampai di depan rumah
kecil berlantai dua. Orang itu lalu mengajak anak kecil tersebut berteduh di
tempatnya sejenak.
“ Karena hujan
masih turun deras, lebih baik kamu tinggal disini dulu ya? “
“ Nama kakak
Sekar, kan? Apa kakak tinggal sendirian di sini? “ Jawaban dari anak kecil itu
sekali lagi membuatnya terkejut.
“ Kamu tahu
namaku? Aku saja belum tahu namamu. Sudahlah jangan banyak bicara lagi, ayo
kita masuk sekarang! “
“ Namaku Dimas,
kak. Kakak tidak usah takut. Ceritanya panjang. Oh ya, terima kasih juga atas rotinya tadi sore ya, kak! “ Ucap
anak bernama Dimas sambil tersenyum riang kepada Sekar. Tanpa menunggu angin
dingin semakin menusuk kulit, keduanya segera masuk ke dalam rumah.
***
Rintik-rintik air
hujan semakin berkurang. Genangan air dari atas bukit telah memenuhi jalanan
desa. Akan tetapi kini genangan air tersebut sudah semakin berkurang karena
posisi desa yang letaknya tidak jauh dari sungai. Entah mengapa Sekar pada saat
itu terbangun dari tidurnya. Ia melihat Dimas sudah tidak berada di atas kursi.
Kemudian ia pergi ke lantai bawah dan menemukan Dimas sedang melihat ke arah luar
jendela. Gadis itu mendekatinya.
“ Apa kakak tidak
ingin tahu apa yang dilakukan orang-orang di luar sana? “ Saran Dimas tanpa
mengalihkan pandangannya dari jendela. Awalnya Sekar merasa ragu karena ia
tidak ingin suara aneh itu datang lagi. Meskipun demikian, pada akhirnya ia
memberanikan diri untuk pergi keluar rumah melihat banyak orang telah
bergerombolan di sungai. Mereka terlihat saling merebutkan sesuatu. Ternyata di
jalanan tepi sungai ada beberapa ranting dan kayu yang berserakan. Masyarakat
terlihat senang sekali. Ya, pesta kayu. Kali ini mereka tak perlu lagi susah-susah
untuk mencari kayu di hutan. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang dialami Sekar.
Ketika orang lain merasakan kegembiraan, dirinya justru tidak demikian.
Tiba-tiba saja ia mendengar sayup-sayup suara dari beberapa tanaman hijau di
sekitarnya. Hal ini persis seperti yang dialami Sekar pada saat malam sabtu
itu. Entah bagaimana hal ini dapat
terjadi, tapi itu adalah saat ia hanya dapat mendengar jeritan suara tanaman
untuk pertama kalinya.
“ Apa yang telah
kalian lakukan pada kami? “
“ Seenaknya saja
kalian mengambil kami tanpa mengetahui penderitaan kami yang sia-sia! “
Sekar merasa aneh
dan panik seketika. Ia lalu mendekati sepotong ranting di sana untuk memastikan
pendengarannya. Sekali lagi ia mendengar ucapan ranting itu yang tidak
mengenakkan di telinganya. Ketika dirinya sedang kalut. Ia merasakan sesuatu
melingkar di kakinya. Ia terkejut dan hendak pergi dari sana. Akan tetapi, ia
tetap tidak bisa meloloskan diri dari cengkraman ranting kecil itu. Tiba-tiba
ia mendengarkan suara yang sangat jelas merasuk ke dalam telinganya lagi.
“ Jangan takut.
Sebenarnya kami hanya ingin keadilan. Itu saja! Tolong bantulah kami! “ Pinta
suara ranting dari sebongkah kayu yang melilit kaki Sekar. Tangan yang menutup
wajahnya masih bergetar tak karuan. Kemudian seseorang menarik bajunya. Dengan
agak sedikit takut, ia pun membuka tangannya dan melihat Dimas berada di
hadapannya sekarang.
“ Kak, coba
dengarkan dengan seksama apa yang mereka inginkan. kuharap kamu mau membantu
mereka. Sekali ini saja! “ Ujar Dimas memohon seraya mengatupkan kedua
tangannya.
“ Apa kamu juga bisa
mendengar suara mereka, Dimas? “
“ Tidak. Aku tidak
bisa. Tapi aku tidak menganggap kak Sekar sebagai orang gila. Aku tahu itu
karena aku punya feeling yang kuat. Tapi aku mohon kakak untuk membantu mereka.
Percayalah padaku, kak! “ Dimas memohon dengan sungguh-sungguh kepada gadis
bernama Sekar tanpa menghiraukan hiruk-pikuk masyarakat sekitar.
“ Memangnya aku
harus bagaimana? Aku juga tidak tahu, Dimas! “
“ Coba kakak tanyakan
pada ranting di bawah kaki kakak ini. Ini memang aneh tapi cobalah dulu, kak! “
Saran anak laki-laki ini sambil menggenggam erat bajunya.
Akhirnya setelah mengumpulkan segala keberanian dalam dirinya,
Sekar menghembuskan napas dan mendudukkan dirinya di atas tanah. Ia pun mulai
bertanya akan keinginan kayu yang melingkar di kaki kirinya.
“ Keadilan apa
yang kamu maksudkan, kayu? “
Tanpa menunggu
waktu yang lama, kayu itu mulai bercerita perihal kejadian yang dialaminya
sekarang ini.
“ Sebenarnya kami
mau bahkan rela ditebang oleh manusia. Akan tetapi, setidaknya manusia juga mau
untuk meregenerasi kami lagi. Kalian dapat menanam bibit-bibit tanaman baru,
kan? Dan sekali lagi, kami minta tolong untuk tidak menyimpan kami di tengah
hutan begitu saja usai menebang kami. Sehingga jika terjadi longsor nanti, kami
tidak perlu membawa tanaman lain yang tidak bersalah. Kami harap kita sebagai
sesama makhluk hidup bisa saling bekerja sama untuk saling menjaga keseimbangan
alam di muka bumi ini! “ Terang sebongkah kayu gelondongan kepada Sekar
mewakili sesama gelondong kayu lainnya di sana. Suara riuh kembali terdengar.
Mereka mendukung penjelasan sebongkah kayu gelondong di samping Sekar. Sekar
menutup telinga dan menutup rapat matanya berharap ini adalah mimpi. Lalu
sebuah tangan menyentuh lengannya. Lingkaran ranting yang melilit kaki kirinya
telah mengendur.
“ Aku berjanji
akan membantu kakak semampunya! “ Mendengar jawaban dari anak kecil ini, Sekar
membuka matanya dan menatapnya kesal. Ia tidak ingin berurusan lagi dengan
tanaman hijau ini.
“ Memangnya ada
hubungan apa kamu dengan semua kayu-kayu ini? Bukankah nasib mereka memang
demikian? Kalau kamu memang mau membantu, ya bantu saja sendiri! Aku pergi
saja! “ Ucap Sekar kemudian bangkit dan meninggalkan anak kecil di sampingnya.
“ Tapi aku juga
punya hati, kak. Semua buku, guru, dan orang tuaku juga mengatakan hal yang
sama untuk menyayangi mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hanya saja aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan karena aku masih kecil! “ Mendengar ucapan
dari anak itu, Sekar berhenti sejenak dan membalikkan badannya. Ia menatap
lekat-lekat anak laki-laki ini. Sebenarnya dalam hatinya yang terdalam, anak
ini telah menyentuh perasaannya. Meskipun dengan berat hati, tak lama kemudian
sebuah garis lengkung terukir di bibirnya.
***
Tangan gadis
bernama Sekar kini sedang menari-nari di atas keyboard laptopnya. Ketika dengan
ucapannya tidak berhasil meyakinkan kepala desa di tempat ini, ia berharap
semoga dengan tulisannya ia tidak dianggap sebagai orang yang aneh. Dengan
lihai ia menggambarkan seluruh perasaan para kayu dan setiap tanaman yang
didengarnya. Kini ia percaya bahwa kemampuan uniknya ini memang istimewa dan
merupakan sebuah anugerah. Ia tidak menginginkan orang lain untuk mengakuinya,
hanya mendengarkannya saja itu sudah cukup baginya.
***
Percayalah. Setiap
pagi entah berapa kali dalam seminggu beberapa kendaraan besar datang. Mereka
tak mengenal tempat dan waktu. Yang pasti setiap kedatangan mereka ke tempat
ini, salah satu dari kami pasti akan pergi meninggalkan habitat kami. Rimbunnya
tempat kami membuat para burung singgah sambil menceritakan perjalanan mereka.
Bahkan terkadang beberapa burung bercerita mengenai keberadaan kawanan kami
yang dibawa oleh kendaraan-kendaraan besar ke kota. Hari-hari berlalu,
keberadaan para penebang kayu sudah menjadi hal yang biasa bagi kami. Hingga
pada suatu hari terjadi sebuah kejadian yang tidak terduga. Mereka mengumpulkan
dan menelantarkan kami begitu saja usai menebang kami meskipun sebagian dari
kami sudah diangkutnya. Rasa menyesal dan marah mulai meliputi jiwa para kayu
kami. Ditambah lagi hutan mulai dibasahi oleh tetesan air hujan dari langit.
Detik-detik waktu pun berlalu. Tak lama hujan turun semakin deras dan lebat.
Terjangan angin semakin kuat hingga menerbangkan butiran-butiran air hujan.
Ketika itu tanah yang telah menjadi gembur dengan mudahnya menuruni tepian
bukit yang curam. Longsor pun terjadi karena tak adanya akar yang dapat menahan
air. Tepi perbukitan yang dahulu dihiasi oleh pepohonan kini memang telah
menjadi gundul. Meskipun di atas bukit terdapat sebuah desa kecil, tetapi tak seorangpun
menghiraukan aktivitas ataupun kegiatan yang terjadi di hutan ini. Hal inilah
yang pada akhirnya mengakibatkan kami mudah terhanyut oleh aliran deras banjir.
Tak luput pula banyak tanaman kecil ikut terbawa
bersama kami dan dengan lancarnya menuruni tepian bukit. Kami tidak mengetahui
jika agak jauh di bawah bukit ini terdapat pemukiman penduduk. Sebenarnya kami
juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Sebagai makhluk hidup kami juga
memiliki perasaan untuk tidak ingin menyakiti
ataupun mengganggu makhluk hidup lainnya. Sekalipun kami tidak bisa
berkomunikasi dengan makhluk hidup selain kami, kami tidak membencinya karena
kami diciptakan oleh Sang Pencipta sedemikian rupa justru untuk memberi manfaat
makhluk hidup lainnya. Tetapi lain lagi dengan yang sudah terjadi hari ini.
Entah apa yang berada dalam benak mereka. Apakah makhluk seperti mereka yang
lain tahu apa yang sudah dilakukan mereka pada kami? Apakah mereka tidak tahu
bahwa Sang Pencipta mengetahui perbuatan mereka?. Beberapa pikiran seperti
itulah yang justru terlintas di pikiran kami.
***
Usai menulis semua
jeritan suara dari para makhluk hijau di depan rumahnya, Sekar segera masuk ke
dalam rumah dan tertidur begitu saja di atas kursi ruang tamu. Selang beberapa
menit kemudian, anak laki-laki itu mendekatinya. Kemudian ia beralih melihat
layar monitor yang masih menyala di atas meja ruang tamu. Tanpa pikir panjang,
ia ambil sebuah alat kecil seperti flashdisk yang terbungkus didalam plastik
dari saku celananya. Lalu ia berpamitan kepada bibi Sekar yang sedang
membersihkan halaman rumah. Ia juga meminta izin kepada bibi Sekar untuk
meminjam sepeda sebentar. Setelah itu ia berlalu dari rumah bibi Sekar. Entah
anak laki-laki itu pergi kemana tak seorangpun peduli karena penduduk di desa
kecil itu tak pernah mengenalnya.
Langit sore kini
telah berubah warna. Tanda malam pun tiba. Ketika ia dan bibinya usai
menunaikan sholat isya’, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Bibi Sekar
segera turun ke bawah dan membukakan pintu rumahnya. Seorang laki-laki dewasa
dengan seorang anak kecil yang terlihat familiar sedang berdiri di depan rumah.
Bibi Sekar segera mempersilahkan keduanya masuk lalu memanggil keponakannya.
Tak kurang dari 5 menit, Sekar turun dan datang menyalami ayah Dimas.
“ Sebelumnya kalau
boleh saya tahu, ada keperluan apa ya malam-malam begini bapak dan Dimas mencari
saya? “ Tanya Sekar penasaran dan membuka pembicaraan.
“ Apa kamu yang
bernama Sekar? “ Sekar pun mengangguk mengiyakan mendengar pertanyaan ayah
Dimas.
“ Begini kamu
pasti sudah kenal dengan anak saya yang bernama Dimas ini, kan? Ya, meskipun
baru mengenalnya tapi saya ucapkan terima kasih karena sudah membelikan roti
tadi sore pada Dimas “ ucap ayah Dimas seraya mengeluarkan uang untuk mengganti
harga roti yang sudah dibeli Dimas.
“ Ah tidak apa-apa, pak. Saya ikhlas kok. Kebetulan saja saya tadi
membawa uang. “
“ Baiklah kalau begitu. Tapi kamu tahu tidak kalau Dimas bukan dari
desa ini? “
“ Sebenarnya karena saya baru tiba di sini seminggu yang lalu untuk
liburan di sini. Jadi belum mengenal para penduduk di sini secara keseluruhan “
“ Oh jadi begitu, Sebenarnya dia sekarang juga sedang liburan di
rumah neneknya di desa di atas bukit
sana. Tapi karena ia memang suka menjelajah jadinya sampai ke sini. Saya
sendiri baru tiba di sini setelah di telepon anak saya tadi sore. Intinya saya
mau berterima kasih kepada kamu, Sekar. Karena sudah membantu saya mengetahui
karyawan saya yang berbuat curang. Meskipun hanya dengan sebuah tulisan, tapi
saya berhasil memancing karyawan saya untuk mengakui kesalahannya. “ Mendengar
penjelasan dari ayah Dimas, Sekar merasa sedikit kebingungan.
“ Ma-maksud bapak tulisan yang mana ya? Jadi bapak yang menyuruh
orang-orang untuk menebang kayu di hutan? “
“ Tulisan yang kakak tulis di laptop kakak, aku copy ke flashdisk
yang aku bawa saat itu. Terus aku kirim ke ayahku. Soalnya kalau tidak salah
ayah kan kerjanya buat kayu-kayu jadi kursi, lemari begitu. Jadi aku cerita saja
kalau ternyata ada kayu yang tidak dibawa semuanya. Jadinya tulisan kakak aku
jadikan bukti ke ayah karena aku percaya kakak tidak mungkin berbohong. Tapi
aku minta maaf kalau aku lancang ya, kak? “ Sahut Dimas mengakui kesalahannya dan
langsung menundukkan kepalanya malu. Mendengar pengakuan dari Dimas, Sekar
langsung beranjak dari kursinya dan mendekati Dimas. Ia duduk di samping Dimas.
“ Oh, jadi begitu. Ah tidak apa-apa kok, Dimas. Justru kakak berterima
kasih sama kamu karena sudah membantu kakak. Dan terima kasih karena sudah
percaya sama kakak. Kamu ternyata pintar juga ya, Dimas! “ Ujar Sekar seraya
mengangkat wajah Dimas yang masih tertunduk dengan senyum tersungging di
bibirnya. Lalu Dimas pun menatap Sekar heran.
“ Jadi kakak tidak marah sama Dimas? “ Pertanyaan Dimas membuat
Sekar mengelus-elus rambut hitam Dimas.
Sekar menggelengkan kepalanya dan masih tersenyum kepada Dimas.
“ Wah, terima kasih, kak! “ Dimas pun
merangkul Sekar.
“ Saya juga sangat
berterima kasih, Sekar. Awalnya saya tidak percaya dengan tulisan kamu, tapi
karena Dimas bersikukuh. Akhirnya, saya terima dan mencoba untuk menanyakan
kebenarannya kepada karyawan saya dengan mempertaruhkan keberuntungan saya.
Karena saya hanya mengancam mereka dengan satu bukti. Untungnya 3 karyawan saya
mengakui perbuatannya karena mereka takut jika harus dilaporkan kepada polisi.
“
“ Ditambah lagi nenekku juga hafal sekali truk-truk yang mengangkut
kayu itu, kak. Mereka kan selalu lewat depan rumah nenek. Karena setiap mereka
selesai menebang nenek selalu pergi ke hutan untuk mengambil sisa-sisa kayu.
Jadi meskipun nenek sudah tua, tapi ingatannya masih hebat, kak. Keren, kan? “
Dimas menyambung penjelasan ayahnya dengan bangga.
“ Ya, ini semua memang ide Dimas. Karena ia juga mengusulkan saksi
yaitu ibu saya untuk menyudutkan mereka. Meskipun saya agak ragu, tapi ternyata
idenya memang berhasil. Ketiganya tidak saya laporkan polisi tetapi mereka saya
pindahkan ke tempat yang lain. “
“ Wah, kamu memang
jenius, Dimas! Apa kamu suka membaca atau menonton film detektif-detektif itu?
“ Dimas mengangguk dengan mantap dan tersenyum lebar.
“ Ya, aku suka
sekali detective conan, kak! “
Ketika Sekar
sedang diselimuti perasaan gembiranya, tiba-tiba suara 3 oktaf ibunya
membangunkannya dari mimpi.
“ Sekar!! Sekar!!
Ayo cepat bangun dan turun sarapan! Ibu tidak mau tahu kalau kuliahmu telat lho!
“ Mendengar suara itu, ia langsung melihat ke arah jam di dinding kamarnya. Jam
masih menunjukkan angka 6.30 pagi. Dan dirinya ternyata tertidur di atas meja
belajar dan tangannya masih berada di atas keyboard. Layar monitor masih
menyala. Dan ia belum menulis apapun untuk tugas esainya hari ini. Hanya
tertera tulisan “ aku “ di lembaran putih Microsoft Wordnya. Ia lalu
menatap kalender di samping laptopnya.
“ Aish, ternyata
itu semua hanya mimpi! Liburan di tempatnya bibi masih kurang 1 minggu lagi.
Aduh, bagaimana ini? Deadline tugas akhirnya hari ini! “
“ Sekar!! Ayo
cepat turun! “ Sekali lagi suara ibunya kali ini benar-benar mengagetkannya.
Dengan segera ia menutup laptopnya dan membawa tasnya lalu turun menemui
ibunya.
“ Bu, aku langsung
berangkat ya! “ Ia berpamitan dengan ibunya. Tapi ternyata ibunya tidak
melepaskan genggaman tangannya.
“ Kamu mau kemana?
Ini kan hari minggu. Kamu ada kuliah hari minggu, Sekar? “
“ Lho kan tadi ibu
bilang.. “
“ Itu biar kamu
cepat turun dan sarapan. Sudahlah ayo kita sarapan sekarang. Lihat adik dan
ayahmu sudah daritadi menunggumu! “
“ Syukurlah kalau
begitu. Aku masih selamat dari Mr. Deadline! “ ujar Sekar dengan gembira dan
segera menuju kursinya untuk sarapan. Melihat tingkah putrinya yang satu ini
kedua orang tua Sekar hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Makanya nonton
Conan terus, kak. Biar selalu telat! “ celetuk adik laki-lakinya membuat seisi
ruangan tertawa dibuatnya. Tunggu dulu, Sekar melihat wajah adiknya yang ini
terlihat sudah familiar. Oh tidak, dia mirip dengan Dimas dan ia tidak
menyadarinya. Jadi, itu semua memang benar-benar hanya sebuah mimpi!
.
Comments