Kisah Yang Tersembunyi


Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Mungkin ungkapan itu memang benar. Sama halnya dengan kehidupanku yang berubah saat pertama kali kita bertemu. Bayangkan saja. Bagaimana bisa aku bertemu dengan orang yang sama persis dari ujung rambut hingga ujung kaki denganku. Aku
kaget sekali bahkan hampir tak mempercayainya. Rasanya mustahil bisa bertemu dengan dia yang bahkan tak pernah kuimpikan sebelumnya. Apalagi akhir-akhir ini banyak isu beredar tentang maraknya operasi plastik. Mungkin saja dia melakukannya juga agar bisa sama persis sepertiku. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memangnya ada seseorang yang mau mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk merombak dirinya menjadi orang sepertiku. Aku memang tidak cantik, menurutku. Tidak berpostur tinggi dan anggun layaknya seorang model. Intinya dari segi fisik, tak ada yang spesial. Mungkin hanya otakku ini saja yang bisa diandalkan. Saat aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, antara percaya dan tidak percaya karena kedua orang tuaku tidak pernah bercerita apapun mengenai hal ini padaku, dia pun mengulurkan tangannya dan menyunggingkan senyum termanisnya padaku. Aku kaget melihatnya dan tiba-tiba sekelebat pikiran terlintas dalam benakku. Aku mulai menyadari sesuatu. Ya, mungkin hanya satu yang tak kumiliki persis sepertinya yaitu senyumnya. Dia memiliki senyum yang membuatnya terlihat cantik hingga mampu meruntuhkan semua pikiran negatifku padanya sejenak. Aku tak pernah tersenyum lebar seperti itu pada orang lain dan mungkin saja aku tak bisa melakukannya. Jujur saja, aku memang tak bisa terbuka pada orang lain alias pendiam. Jadi mungkin senyum itu yang membedakanku dengannya. Senyum ramah yang mampu menyihir siapapun untuk nyaman bersamanya. Nampaknya ia adalah orang yang ceria. Berbeda denganku yang berkacamata dan tak seceria itu pada orang lain. Ya, pertemuan pertama yang cukup mengejutkan sekaligus berkesan bagiku.
***
"Lia! Ayo bangun! Sudah jam 5 nih, kamu belum shalat lho!" Ujarku seraya terus mengoyak tubuhnya agar bangun dari alam bawah sadarnya. Gadis yang dipanggil Lia hanya menggeliat tanpa membuka matanya sedikitpun. Ini sudah ke sekian kalinya dia tidak bangun jam 4. Memang sudah menjadi tradisi di rumah kami untuk bangun pagi-pagi sekali. Ya. Selain untuk membersihkan diri, aku juga sudah mulai membantu ibuku untuk memasak makanan yang akan dijual nanti di pasar. Nampaknya ia belum terbiasa dengan kehidupan sederhana kami. Aku sendiri tidak tahu mengapa ia mau meninggalkan rumah orang tua angkatnya yang mewah itu padahal mereka sangat menyayanginya. Sebenarnya aku tidak keberatan jika dia ingin tinggal bersama orang tua angkatnya, tapi mengingat mereka hanya memiliki Lia yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri, membuatku merasa tidak enak dengan keputusan Lia yang ingin sekali tinggal di rumah sederhana kami mulai sekarang. Pada saat itu, orang tua angkatnya menghargai keputusannya ini dan justru memintaku untuk tidak perlu merasa bersalah atas keputusan adikku ini. Baiklah, untuk sikapnya yang satu ini aku sedikit kesal padanya. Tidak banyak, mungkin kurang dari seperempat ruang dalam hatiku dipenuhi oleh perasaan itu.
***
            Saat di sekolah aku semakin menyadari perbedaan kami. Ya, tepat seperti dugaanku. Adikku ini dapat dengan mudah mengambil hati para siswa di sekolah termasuk teman-teman di kelasku. Awalnya aku senang melihatnya tidak mengalami kesulitan untuk beradaptasi di sini bahkan menurutku dia lebih baik dariku. Tapi lambat laun sikap orang-orang di sekolah terasa sedikit mengganggu bagiku. 
“Nia, dimana adikmu? Aku ingin memberikan ini untuknya,” tanya Bagus dengan menunjukkan sebuah kotak kecil dibungkus kertas kado. Tak lupa sebuah pita menghias cantik di sekelilingnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Tidak tahu.
“Bagaimana sih kau ini? Seharusnya kau tahu dimana adikmu berada?” ucapnya dengan nada lebih tinggi. Konsentrasiku buyar seketika. Aku pun menutup bukuku dan beralih menatap sosok di depanku sekarang.
“Aku sungguh tidak tahu, Bagus. Memangnya aku harus tahu kemana pun dia pergi? Aku juga punya kehidupan sendiri, kan?” Aku menjadi kesal dengan sikapnya yang terus-menerus menanyakan hal yang sama seperti ini tanpa peduli apa yang sedang kulakukan. Tanpa banyak bicara lagi, aku pergi beranjak dari bangkuku. Ketika kakiku melangkah keluar dari kelas, seseorang memanggil namaku. Terasa familiar di telingaku. Aku pun menoleh dan benar, dia adalah adikku.
“Kak Nia! Kau mau kemana?” tanya adikku di depan kelas.
Aku tidak menjawab dan malah berlari meninggalkannya. Entah kenapa hatiku sangat sakit saat melihatnya. Hampir semua siswa di kelasku selalu menanyakan keberadaannya saat aku sedang sibuk dengan kegiatanku sendiri. Awalnya aku berbaik hati untuk menjawabnya karena hanya aku yang memiliki nomor adikku. Meskipun dia mempunyai banyak teman, tapi tak satupun dari mereka yang diberitahu nomor telepon olehnya. Entahlah. aku tidak tahu apa alasannya, tapi setiap kali aku menanyakan hal itu, dia selalu mengatakan hal yang sama. “Sudahlah, kak. Aku kan hanya ingin kakak yang paling peduli dan mengerti aku di dunia ini.” Justru aku jadi tidak bisa memahaminya dengan mudah. Argh, ini benar-benar membuatku frustasi. Akhirnya saat kakiku terus melangkah, aku tidak sadar bahwa aku sudah berada di kantin sekarang. Aku pun membeli minuman kaleng lalu pergi ke taman sekolah. Menikmati waktuku sendiri disana. Ya, memang beginilah duniaku. Tak seorangpun peduli denganku dan aku tidak keberatan dengan hal itu karena aku benar-benar tidak bisa bergaul dengan anak dari keluarga kaya seperti mereka. Aku tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan sehingga aku memilih untuk menyendiri seperti ini. Yang penting hal ini tidak mempengaruhi nilaiku di sekolah. Tak lama kemudian seseorang datang dan menepuk pundakku. Membuatku terkejut seketika.
“Hey, apa yang kau lakukan disini? Sepertinya adikmu itu supel ya. Kenapa kau tidak bersama adikmu? Malah duduk sendiri disini,” ucap Dimas, Sang ketua kelas. Dia ini selalu berusaha bersikap baik pada siapapun di kelas, termasuk padaku meskipun aku tak begitu peduli dengan sikapnya yang satu ini.
“Bukan urusanmu. Aku suka dengan keadaanku dan memang beginilah aku. Nampaknya kita sangat berbeda.” Tak terasa minumanku sudah habis. Aku pun membuangnya dan memilih pergi meninggalkannya.
“Kau mau kemana? Kau tidak mau menemaniku? Aku sendirian disini,” ucapnya meminta perhatian padaku. Tapi aku tetap tidak peduli dengannya.
“Perpustakaan. Aku ingin merefresh pikiranku dengan beberapa buku disana.”
“Tidak heran kalau anak-anak memanggilmu aneh. Refreshing di perpustakaan. Haha.. kau memang unik.” batin Dimas dalam hati. Aku meninggalkannya seorang diri duduk di bangku taman karena aku merasa tidak dekat dengannya.
***
Tiba-tiba saat aku pulang ke rumah, beberapa orang berpakaian putih memenuhi halaman rumah. Sayup-sayup terdengar suara bacaan al-qur'an. Tanpa banyak bicara, aku segera masuk dan berlari ke dalam rumah. Menepis semua kemungkinan buruk yang muncul begitu saja dari dalam pikiran. Memang hari ini aku tidak pulang bersama dengan adikku karena ada rapat mendadak dengan Dimas selaku ketua OSIS dan aku sebagai sekretarisnya.
“Ada apa sebenarnya ini, bu?” tanyaku langsung pada ibu yang sedang duduk berada di kamar. Wajahnya basah oleh airmata. Hatiku terasa semakin sakit saat ibu langsung memelukku dan menumpahkan segala isi hatinya yang ternyata sudah ditahannya selama ini.
“Maafkan ibumu ini, Nia. Sungguh… ibu bukanlah seorang ibu yang baik bagi kalian. Maafkan ibu karena sudah merahasiakan adikmu selama ini darimu. Ibu… ibu hanya khawatir kau akan membenci ibu setelah mengetahui adikmu hidup dengan baik. Kau pasti merasakan ketidakadilan itu, bukan? Ibu memang egois waktu itu, membiarkan adikmu pergi begitu saja. Itu karena ibu ingin melihat kalian berdua hidup. Itu saja. Tapi… bukan ini yang ibu inginkan sekarang.”
Aku pun memeluk dan mengelus punggungnya pelan, berusaha menenangkannya meskipun aku masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang.
“Tidak apa-apa, bu. Aku tidak cemburu dengan adikku dan justru ibu adalah ibu yang terbaik di dunia. Aku paham dengan kondisi kita waktu itu sampai sekarang. Jadi ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Lagipula kita sudah hidup bersama sekarang. Mari kita jalani hidup kita yang baru.”
Tiba-tiba ibu angkat adikku membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.
“Kenapa kau baru menghubungiku, Bu Ratna? Dimana Lia sekarang? Kau belum menguburkannya, kan?” Ucapan Bu Kirana membuatku terkejut. Hampir saja jantungku akan lepas saat mendengar adikku dan kuburan. Apa maksudnya ini? Adikku mati? Ah, tidak mungkin. Sejak tadi pagi dia baik-baik saja dan tak mengeluh apapun.
“Ibu, ada apa sebenarnya? Kenapa Bu Kirana berkata begitu? Adik baik-baik saja kan, bu?”
Aku melihat kedua bola matanya lekat-lekat. Sejurus kemudian, ibu menggelengkan kepalanya. Dadaku terasa sesak seketika. Tapi aku tetap ingin mendengarkan penjelasan ibu.
“Maafkan ibu, Nia. Sekali lagi ibu minta maaf.”
“Ibu tidak perlu minta maaf. Tapi kumohon jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,” ucapku dengan suara bergetar.
“Tadi siang sepulang sekolah, Fia tiba-tiba saja sudah ambruk di depan pintu. Ibu lekas datang dan membawanya masuk. Tapi saat ibu ingin membawanya ke rumah sakit, dia memegang tangan ibu. Tidak ingin pergi ke rumah sakit.”
“Jadi… jadi hari ini adalah hari itu? Oh, tidak. Kenapa hari itu berlalu lebih cepat dari yang sudah diprediksi oleh dokter?” ucap Bu Kirana dan hampir terjatuh, tidak kuat berdiri. Untung saja Pak Budi lekas menangkapnya dan membiarkan Bu Kirana menangis seketika di pundaknya.
“Apa maksudnya dengan hari itu, bu? Tolong jelaskan semua ini padaku!” Ibu berusaha menahan tangisnya lagi sebelum menjawab pertanyaanku. Ia menghela napas panjang lalu berkata, “Adikmu, Lia Indrawati. Sebenarnya mempunyai penyakit kanker. Tapi dia melarang kami semua mengatakan hal ini padamu. Dia… dia ingin sekali saja hidup sebagai seorang adik, bukan sebagai pasien dan hidupnya sudah tidak lama lagi sejak dia tinggal bersama kita. Maafkan ibu, Nia. Sekali lagi maaf ibu sudah merahasiakan ini semua darimu. Ibu… benar-benar tidak bisa menolak permintaan pertama Lia, sayang.”
Seketika itu tubuhku terasa lemas. Cairan bening yang sudah menggenang di pelupuk mataku tiba-tiba meluncur deras begitu saja. Ya, aku sudah tak bisa menahan kenyataan pahit ini. Dadaku terasa semakin sakit dan aku segera berlari menuju ke tempat peristirahatan terakhir di ujung desa. Jam lima sore itu aku memang pulang terlambat sekali dan sudah menjadi tradisi di desa kami bahwa orang meninggal sebaiknya lekas dikuburkan. Kata ibu, Lia menghembuskan napas terakhirnya setelah menulis surat untukku kurang-lebih jam setengah satu. Jadi tentu saja aku tidak bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Rasa bersalah dan penyesalanku siang tadi bercampur-aduk menjadi satu, benar-benar sukses mengoyak sukmaku. Hatiku menjerit. Tapi mulutku kelu, tak mampu berkata-kata. Hanya ucapan maaf yang terus meluncur berkali-kali dari dalam otakku. Aku masih tak percaya dengan semua kenyataan pahit ini. Ini benar-benar hari paling kejam dalam hidupku. Surat itu, ah aku tak sanggup membacanya. Hatiku sangat sakit sekarang. Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku. Aku menoleh.
“Yang sabar ya, Nia. Kami semua datang ke sini,” ucap Dimas dan duduk di sampingku. Beberapa teman datang dan memberikan semangat untukku. Tapi aku masih tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku tadi mengikutimu dari jauh. Setelah mengetahui apa yang terjadi, lekas aku kontak semua anak untuk datang melayat. Tapi hanya ini yang bisa datang. Maaf.” jelas Dimas dengan sangat jelas.
“Terima kasih.” Hanya itu kata yang akhirnya keluar dari bibirku. Andai saja aku bisa memutar kembali waktu. Aku akan melakukan semua yang terbaik untuknya. Apapun yang diinginkannya. Andai saja. (Fatiha el hilmy)

Comments