Tak ada yang tak mungkin
di dunia ini. Mungkin ungkapan itu memang benar. Sama halnya dengan kehidupanku
yang berubah saat pertama kali kita bertemu. Bayangkan saja. Bagaimana
bisa aku bertemu dengan orang yang sama persis dari ujung rambut hingga ujung
kaki denganku. Aku
kaget sekali bahkan hampir tak mempercayainya. Rasanya mustahil bisa bertemu dengan dia yang bahkan tak pernah kuimpikan sebelumnya. Apalagi akhir-akhir ini banyak isu beredar tentang maraknya operasi plastik. Mungkin saja dia melakukannya juga agar bisa sama persis sepertiku. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memangnya ada seseorang yang mau mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk merombak dirinya menjadi orang sepertiku. Aku memang tidak cantik, menurutku. Tidak berpostur tinggi dan anggun layaknya seorang model. Intinya dari segi fisik, tak ada yang spesial. Mungkin hanya otakku ini saja yang bisa diandalkan. Saat aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, antara percaya dan tidak percaya karena kedua orang tuaku tidak pernah bercerita apapun mengenai hal ini padaku, dia pun mengulurkan tangannya dan menyunggingkan senyum termanisnya padaku. Aku kaget melihatnya dan tiba-tiba sekelebat pikiran terlintas dalam benakku. Aku mulai menyadari sesuatu. Ya, mungkin hanya satu yang tak kumiliki persis sepertinya yaitu senyumnya. Dia memiliki senyum yang membuatnya terlihat cantik hingga mampu meruntuhkan semua pikiran negatifku padanya sejenak. Aku tak pernah tersenyum lebar seperti itu pada orang lain dan mungkin saja aku tak bisa melakukannya. Jujur saja, aku memang tak bisa terbuka pada orang lain alias pendiam. Jadi mungkin senyum itu yang membedakanku dengannya. Senyum ramah yang mampu menyihir siapapun untuk nyaman bersamanya. Nampaknya ia adalah orang yang ceria. Berbeda denganku yang berkacamata dan tak seceria itu pada orang lain. Ya, pertemuan pertama yang cukup mengejutkan sekaligus berkesan bagiku.
kaget sekali bahkan hampir tak mempercayainya. Rasanya mustahil bisa bertemu dengan dia yang bahkan tak pernah kuimpikan sebelumnya. Apalagi akhir-akhir ini banyak isu beredar tentang maraknya operasi plastik. Mungkin saja dia melakukannya juga agar bisa sama persis sepertiku. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memangnya ada seseorang yang mau mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk merombak dirinya menjadi orang sepertiku. Aku memang tidak cantik, menurutku. Tidak berpostur tinggi dan anggun layaknya seorang model. Intinya dari segi fisik, tak ada yang spesial. Mungkin hanya otakku ini saja yang bisa diandalkan. Saat aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, antara percaya dan tidak percaya karena kedua orang tuaku tidak pernah bercerita apapun mengenai hal ini padaku, dia pun mengulurkan tangannya dan menyunggingkan senyum termanisnya padaku. Aku kaget melihatnya dan tiba-tiba sekelebat pikiran terlintas dalam benakku. Aku mulai menyadari sesuatu. Ya, mungkin hanya satu yang tak kumiliki persis sepertinya yaitu senyumnya. Dia memiliki senyum yang membuatnya terlihat cantik hingga mampu meruntuhkan semua pikiran negatifku padanya sejenak. Aku tak pernah tersenyum lebar seperti itu pada orang lain dan mungkin saja aku tak bisa melakukannya. Jujur saja, aku memang tak bisa terbuka pada orang lain alias pendiam. Jadi mungkin senyum itu yang membedakanku dengannya. Senyum ramah yang mampu menyihir siapapun untuk nyaman bersamanya. Nampaknya ia adalah orang yang ceria. Berbeda denganku yang berkacamata dan tak seceria itu pada orang lain. Ya, pertemuan pertama yang cukup mengejutkan sekaligus berkesan bagiku.
***
"Lia! Ayo bangun!
Sudah jam 5 nih, kamu belum shalat lho!" Ujarku seraya terus mengoyak
tubuhnya agar bangun dari alam bawah sadarnya. Gadis yang dipanggil Lia hanya
menggeliat tanpa membuka matanya sedikitpun. Ini sudah ke sekian kalinya dia tidak
bangun jam 4. Memang sudah menjadi tradisi di rumah kami untuk bangun pagi-pagi sekali.
Ya. Selain untuk membersihkan diri, aku juga sudah mulai membantu ibuku untuk
memasak makanan yang akan dijual nanti di pasar. Nampaknya ia belum terbiasa
dengan kehidupan sederhana kami. Aku sendiri tidak tahu mengapa ia mau
meninggalkan rumah orang tua angkatnya yang mewah itu padahal mereka sangat
menyayanginya. Sebenarnya aku tidak keberatan jika dia ingin tinggal bersama
orang tua angkatnya, tapi mengingat mereka hanya memiliki Lia yang sudah
dianggapnya seperti anak sendiri, membuatku merasa tidak enak dengan keputusan
Lia yang ingin sekali tinggal di rumah sederhana kami mulai sekarang. Pada saat itu, orang tua
angkatnya menghargai keputusannya ini dan justru memintaku untuk tidak perlu
merasa bersalah atas keputusan adikku ini. Baiklah, untuk sikapnya yang satu
ini aku sedikit kesal padanya. Tidak banyak, mungkin kurang dari seperempat
ruang dalam hatiku dipenuhi oleh perasaan itu.
***
Saat di sekolah aku
semakin menyadari perbedaan kami. Ya, tepat seperti dugaanku. Adikku ini dapat
dengan mudah mengambil hati para siswa di sekolah termasuk teman-teman di
kelasku. Awalnya aku senang melihatnya tidak mengalami kesulitan untuk
beradaptasi di sini bahkan menurutku dia lebih baik dariku. Tapi lambat laun
sikap orang-orang di sekolah terasa sedikit mengganggu bagiku.
“Nia, dimana
adikmu? Aku ingin memberikan ini untuknya,” tanya Bagus dengan menunjukkan
sebuah kotak kecil dibungkus kertas kado. Tak lupa sebuah pita menghias cantik
di sekelilingnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Tidak tahu.
“Bagaimana sih
kau ini? Seharusnya kau tahu dimana adikmu berada?” ucapnya dengan nada lebih
tinggi. Konsentrasiku
buyar seketika. Aku pun menutup bukuku dan beralih menatap sosok di depanku
sekarang.
“Aku sungguh
tidak tahu, Bagus. Memangnya aku harus tahu kemana pun dia pergi? Aku juga
punya kehidupan sendiri, kan?” Aku menjadi kesal dengan sikapnya yang terus-menerus
menanyakan hal yang sama seperti ini tanpa peduli apa yang sedang kulakukan. Tanpa
banyak bicara lagi, aku pergi beranjak dari bangkuku. Ketika kakiku melangkah
keluar dari kelas, seseorang memanggil namaku. Terasa familiar di telingaku.
Aku pun menoleh dan benar, dia adalah adikku.
“Kak Nia! Kau
mau kemana?” tanya adikku di depan kelas.
Aku tidak
menjawab dan malah berlari meninggalkannya. Entah kenapa hatiku sangat sakit
saat melihatnya. Hampir semua siswa di kelasku selalu menanyakan keberadaannya
saat aku sedang sibuk dengan kegiatanku sendiri. Awalnya aku berbaik hati untuk
menjawabnya karena hanya aku yang memiliki nomor adikku. Meskipun dia mempunyai
banyak teman, tapi tak satupun dari mereka yang diberitahu nomor telepon
olehnya. Entahlah. aku tidak tahu apa alasannya, tapi setiap kali aku
menanyakan hal itu, dia selalu mengatakan hal yang sama. “Sudahlah, kak. Aku
kan hanya ingin kakak yang paling peduli dan mengerti aku di dunia ini.”
Justru aku
jadi tidak bisa memahaminya dengan mudah. Argh, ini benar-benar membuatku frustasi. Akhirnya
saat kakiku terus melangkah, aku tidak sadar bahwa aku sudah berada di kantin
sekarang. Aku pun membeli minuman kaleng lalu pergi ke taman sekolah. Menikmati
waktuku sendiri disana. Ya, memang beginilah duniaku. Tak seorangpun peduli
denganku dan aku tidak keberatan dengan hal itu karena aku benar-benar tidak
bisa bergaul dengan anak dari keluarga kaya seperti mereka. Aku tidak bisa
memahami apa yang mereka bicarakan sehingga aku memilih untuk menyendiri
seperti ini. Yang penting hal ini tidak mempengaruhi nilaiku di sekolah. Tak
lama kemudian seseorang datang dan menepuk pundakku. Membuatku terkejut seketika.
“Hey, apa yang
kau lakukan disini? Sepertinya adikmu itu supel ya. Kenapa kau tidak bersama
adikmu? Malah duduk sendiri disini,” ucap Dimas, Sang ketua kelas. Dia ini selalu
berusaha bersikap baik pada siapapun di kelas, termasuk padaku meskipun aku tak
begitu peduli dengan sikapnya yang satu ini.
“Bukan urusanmu.
Aku suka dengan keadaanku dan memang beginilah aku. Nampaknya kita sangat
berbeda.” Tak terasa minumanku sudah habis. Aku pun membuangnya dan memilih
pergi meninggalkannya.
“Kau mau kemana?
Kau tidak mau menemaniku? Aku sendirian disini,” ucapnya meminta perhatian
padaku. Tapi aku tetap tidak peduli dengannya.
“Perpustakaan.
Aku ingin merefresh pikiranku dengan beberapa buku disana.”
“Tidak heran
kalau anak-anak memanggilmu aneh. Refreshing di perpustakaan. Haha.. kau memang
unik.” batin Dimas dalam hati. Aku meninggalkannya seorang diri duduk di bangku taman karena aku
merasa tidak dekat dengannya.
***
Tiba-tiba saat aku pulang
ke rumah, beberapa orang berpakaian putih memenuhi halaman rumah. Sayup-sayup
terdengar suara bacaan al-qur'an. Tanpa banyak bicara, aku segera masuk dan
berlari ke dalam rumah. Menepis semua kemungkinan buruk yang muncul begitu saja
dari dalam pikiran. Memang hari ini aku tidak pulang bersama dengan adikku
karena ada rapat mendadak dengan Dimas selaku ketua OSIS dan aku sebagai
sekretarisnya.
“Ada apa sebenarnya ini,
bu?” tanyaku langsung pada ibu yang sedang duduk berada di kamar. Wajahnya
basah oleh airmata. Hatiku terasa semakin sakit saat ibu langsung memelukku dan
menumpahkan segala isi hatinya yang ternyata sudah ditahannya selama ini.
“Maafkan ibumu ini, Nia.
Sungguh… ibu bukanlah seorang ibu yang baik bagi kalian. Maafkan ibu karena
sudah merahasiakan adikmu selama ini darimu. Ibu… ibu hanya khawatir kau akan
membenci ibu setelah mengetahui adikmu hidup dengan baik. Kau pasti merasakan
ketidakadilan itu, bukan? Ibu memang egois waktu itu, membiarkan adikmu pergi
begitu saja. Itu karena ibu ingin melihat kalian berdua hidup. Itu saja. Tapi…
bukan ini yang ibu inginkan sekarang.”
Aku pun memeluk dan mengelus
punggungnya pelan, berusaha menenangkannya meskipun aku masih tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi sekarang.
“Tidak apa-apa, bu. Aku
tidak cemburu dengan adikku dan justru ibu adalah ibu yang terbaik di dunia.
Aku paham dengan kondisi kita waktu itu sampai sekarang. Jadi ibu tidak perlu
mengkhawatirkan hal itu. Lagipula kita sudah hidup bersama sekarang. Mari kita
jalani hidup kita yang baru.”
Tiba-tiba ibu angkat
adikku membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.
“Kenapa kau baru
menghubungiku, Bu Ratna? Dimana Lia sekarang? Kau belum menguburkannya, kan?”
Ucapan Bu Kirana membuatku terkejut. Hampir saja jantungku akan lepas saat
mendengar adikku dan kuburan. Apa maksudnya ini? Adikku mati? Ah, tidak
mungkin. Sejak tadi pagi dia baik-baik saja dan tak mengeluh apapun.
“Ibu, ada apa sebenarnya?
Kenapa Bu Kirana berkata begitu? Adik baik-baik saja kan, bu?”
Aku melihat kedua bola
matanya lekat-lekat. Sejurus kemudian, ibu menggelengkan kepalanya. Dadaku
terasa sesak seketika. Tapi aku tetap ingin mendengarkan penjelasan ibu.
“Maafkan ibu, Nia. Sekali
lagi ibu minta maaf.”
“Ibu tidak perlu minta
maaf. Tapi kumohon jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,” ucapku dengan suara
bergetar.
“Tadi siang sepulang
sekolah, Fia tiba-tiba saja sudah ambruk di depan pintu. Ibu lekas datang dan
membawanya masuk. Tapi saat ibu ingin membawanya ke rumah sakit, dia memegang
tangan ibu. Tidak ingin pergi ke rumah sakit.”
“Jadi… jadi hari ini
adalah hari itu? Oh, tidak. Kenapa hari itu berlalu lebih cepat dari yang sudah
diprediksi oleh dokter?” ucap Bu Kirana dan hampir terjatuh, tidak kuat
berdiri. Untung saja Pak Budi lekas menangkapnya dan membiarkan Bu Kirana
menangis seketika di pundaknya.
“Apa maksudnya dengan hari
itu, bu? Tolong jelaskan semua ini padaku!” Ibu berusaha menahan tangisnya lagi
sebelum menjawab pertanyaanku. Ia menghela napas panjang lalu berkata, “Adikmu,
Lia Indrawati. Sebenarnya mempunyai penyakit kanker. Tapi dia melarang kami
semua mengatakan hal ini padamu. Dia… dia ingin sekali saja hidup sebagai seorang
adik, bukan sebagai pasien dan hidupnya sudah tidak lama lagi sejak dia tinggal
bersama kita. Maafkan ibu, Nia. Sekali lagi maaf ibu sudah merahasiakan ini
semua darimu. Ibu… benar-benar tidak bisa menolak permintaan pertama Lia,
sayang.”
Seketika itu tubuhku
terasa lemas. Cairan bening yang sudah menggenang di pelupuk mataku tiba-tiba
meluncur deras begitu saja. Ya, aku sudah tak bisa menahan kenyataan pahit ini.
Dadaku terasa semakin sakit dan aku segera berlari menuju ke tempat
peristirahatan terakhir di ujung desa. Jam lima sore itu aku memang pulang
terlambat sekali dan sudah menjadi tradisi di desa kami bahwa orang meninggal
sebaiknya lekas dikuburkan. Kata ibu, Lia menghembuskan napas terakhirnya
setelah menulis surat untukku kurang-lebih jam setengah satu. Jadi tentu saja
aku tidak bisa melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Rasa bersalah dan penyesalanku
siang tadi bercampur-aduk menjadi satu, benar-benar sukses mengoyak sukmaku.
Hatiku menjerit. Tapi mulutku kelu, tak mampu berkata-kata. Hanya ucapan maaf
yang terus meluncur berkali-kali dari dalam otakku. Aku masih tak percaya
dengan semua kenyataan pahit ini. Ini benar-benar hari paling kejam dalam
hidupku. Surat itu, ah aku tak sanggup membacanya. Hatiku sangat sakit
sekarang. Tiba-tiba seseorang menyentuh pundakku. Aku menoleh.
“Yang sabar ya, Nia. Kami
semua datang ke sini,” ucap Dimas dan duduk di sampingku. Beberapa teman datang
dan memberikan semangat untukku. Tapi aku masih tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku tadi mengikutimu dari
jauh. Setelah mengetahui apa yang terjadi, lekas aku kontak semua anak untuk
datang melayat. Tapi hanya ini yang bisa datang. Maaf.” jelas Dimas dengan
sangat jelas.
“Terima kasih.” Hanya itu
kata yang akhirnya keluar dari bibirku. Andai saja aku bisa memutar kembali
waktu. Aku akan melakukan semua yang terbaik untuknya. Apapun yang
diinginkannya. Andai saja. (Fatiha el hilmy)
Comments