Gadis Di Atas Jembatan


            Langit merah menunjukkan bahwa Sang Surya akan kembali ke dalam tempat persemayamannya. Memberi kabar pada burung-burung untuk pulang ke sarangnya bersama kawanannya. Kala semua makhluk hidup menuju ke rumah mereka masing-masing, seorang lelaki berseragam abu-abu masih duduk santai di tepi sungai. Memandang langit sambil sesekali memejamkan matanya, mencoba untuk menikmati sejenak hembusan angin sore itu. Ketika ia membuka matanya, pandangannya menangkap seorang gadis berseragam sekolah tengah berdiri diatas jembatan sungai. Ia terkejut tapi kemudian otaknya berusaha membuatnya untuk tidak peduli pada gadis berseragam itu. Ia membalikkan badannya dan beralih melihat derasnya arus sungai.  Sesuatu terbersit dalam pikirannya.
            “Ugh, pasti dingin sekali airnya. Kalau begitu aku akan mencuci muka dulu sebelum pulang. Sensassi dinginnya akan membawaku kembali ke dunia nyata.” Tangannya bergerak mengambil air dan membasuh wajahnya. Saat ia akan mengambil air lagi, matanya menangkap refleksi gadis itu di air tersebut. Memecah ketenangan suasana hati yang telah susah payah dikendalikannya sejak siang tadi. Dengan cepat pandangannya beralih dan berteriak keras pada sosok tersebut.
            “Hey, apa yang sedang kau lakukan? Jangan berbuat aneh-aneh ya. Aku tidak akan membantumu lagi seperti biasanya.”
            Usai berucap demikian, ia lekas berdiri dan melangkah pergi menjauh dari sungai. Tapi gadis itu tak menyahut menjawabnya. Tiba-tiba terdengar sesuatu masuk ke dalam air. Langkah kakinya berhenti. Ia pun membuang tas yang dipegangnya dan membalikkan badannya seraya berteriak keras sekali lagi.   
            “Dasar bodoh. Apa kau benar-benar sudah gila?” Untungnya hanya sebuah kotak kayu tengah mengambang di atas sungai yang cukup dalam itu. Sementara gadis berseragam masih berada di atas jembatan dan sedang melambaikan tangan ke arahnya.
            “Hey. Terima kasih sudah membantuku sejak kemarin. Aku sudah membuang semua kenangan burukku di dalam kotak itu sesuai saranmu. Sekali lagi terima kasih ya. Aku akan berusaha untuk terus berpikir positif mulai dari sekarang.”
            Tanpa banyak bicara lagi, lelaki itu mengambil tasnya lagi dan berbalik pulang menuju rumah yang sebenarnya tak ingin ditempatinya. Kali ini ia benar-benar mengabaikan ucapan gadis yang bahkan dia tak tahu siapa namanya.
            “Aku bahkan tidak menyarankan apapun. Huh, percaya saja dengan semua ceritaku.” Batin lelaki tersebut. Sementara itu di atas jembatan, gadis berkucir dua itu masih berbicara dengan suara  tingginya.
            “Hey. Apa kau tidak mendengarkanku? Tunggu dulu. Kau belum memberitahuku siapa namamu!” teriak gadis itu dari atas jembatan. Melihat sosok itu benar-benar mengabaikannya, ia lalu berhenti berteriak. Menikmati suasana sore itu sejenak dan sebuah senyuman pun tersungging dari bibirnya.
            “Semoga hal-hal baik akan datang pada orang yang sudah berbaik hati pada orang lain,” ucapnya kemudian dan menatap langit kemerahan yang mulai pudar.
***
            “Aku pulang!”
            Lelaki itu melepas sepatunya dan langsung masuk ke dapur. Menyiapkan makanan malam untuk ayah dan dirinya sendiri. Meskipun ayahnya belum datang, tapi ia tetap tak berhenti untuk terus berharap agar ayahnya bisa merubah kebiasaan buruknya.
            “Terus berpikir positif Rei. Kamu pasti bisa.” Ucap lelaki itu menyemangati dirinya sendiri. Usai memasak tempe goreng dan telur dadar, ia pun memakannya dahulu sebelum beristirahat di dalam kamar.
            “Huft. Untung hari ini adalah hari libur kerjaku. Aku bisa konsentrasi pada ujian matematika besok.”
            Tiba-tiba seseorang membuka pintu dengan kerasnya sampai terdengar suara benturan pintunya dengan tembok didalamnya. Tetapi lelaki di dalamnya tidak terkejut sedikitpun dan tetap santai menikmati makanannya.
            “REI! Akhirnya Ayah dapat pekerjaan. Ayo kita makan di luar. Kali ini Ayah yang akan mentraktir.” Ia berlari masuk dan lekas menggandeng tangan Rei.
            “Ayah bahkan belum bekerja dan mendapat gaji. Kita harus berhemat, bukan? Aku sudah memasakkan telur dadar untuk makan malam kita.” Lelaki bernama Rei melanjutkan kembali makannya. Tanpa banyak bicara lagi, ayah Rei memeluknya dengan cepat. Sifat kekanakannya keluar lagi.
            “Kau benar-benar sudah menjadi lelaki sejati. Aku sangat senang dan beruntung.”
             “Aku tidak bisa bernapas, ayah. Kumohon hentikan sikap kekanakanmu ini.” Usai berkata demikian, ayah melepas pelukannya. Setelah itu keduanya pun makan malam bersama-sama. Meskipun kehidupan mereka sederhana, akan tetapi kedua orang itu tetap hidup bersama saling menyayangi dengan cara mereka sendiri, berbeda dengan keluarga pada umumnya.
            “Oh ya, bagaimana dengan mereka? Apa mereka sudah berlaku baik padamu?” Tak ada sepatah kata keluar dari mulut Rei. Ia tetap melanjutkan makannya. Ayahnya menghela napas panjang.
            “Sudahlah. Ayah tidak perlu ikut campur masalahku. Aku ini anak ayah. Jadi jangan khawatir.” Ayahnya tertawa mendengar ucapan putranya dan menepuk pundak Rei. Meski terlihat bercanda, tapi nampaknya ia mempercayai putra satu-satunya ini.
***
.           Sepulang sekolah Rei lekas berlari menuju tempat kerjanya. Dia bekerja paruh waktu di sebuah toko roti tak jauh dari sekolahnya. Tak lama kemudian beberapa pelanggan masuk.  Ketiga lelaki berpostur besar itu menghampiri Rei yang tengah sibuk menata roti.
            “Yo, Rei. Apa yang kau lakukan disini? Oh, tunggu dulu. Kau bekerja disini? Di tempat ini? Apa aku tidak salah lihat?” ujar salah seorang dari mereka. Melihat wajah sangar mereka gadis yang bekerja bersama Rei menjauh. Hanya mereka berdua yang sedang bekerja disana.
            “Jika kalian ingin membeli roti, cepat ambil dan bayar padaku. Tapi jangan membuat masalah di tempat kerjaku, Carl.” Jawab Rei seraya membersihkan kacamata di tangannya usai menata roti di raknya.
            “Oh, jadi kau mengira kami akan mengacau, huh? Memangnya siapa dulu yang memulai semua ini?” Carl mencengkeram kerah orang di depannya sekarang. Rei menatap Carl datar. Tak ingin memperbesar masalah, Rei melepas paksa tangan Carl dari bajunya.
            “Terserah  kau saja. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan…” Tepat sebelum Rei selesai berbicara, Carl meninju wajahnya.
            “Jangan berpura-pura, bodoh. Lalu apa yang sudah kau lakukan pada Rika, huh? Kau yang menyuruhnya untuk berhenti bertemu denganku, bukan? Dasar, tukang ikut campur.” Rei tersenyum mendengar ucapan Carl dan mengusap cairan merah di bibirnya.
            “Aku sungguh tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan. Aku bahkan tidak kenal orang yang kau sebut-sebut itu. Siapa tadi namanya? Rika? Namanya bagus juga.” Sekali lagi wajahnya mendapat pukulan dari Carl. Membuat kasir wanita disana berteriak ketakutan, meminta mereka berhenti melakukan kekerasan disana.
***
            Tak jauh dari tempat itu, seorang gadis berkucir dua baru saja pulang dari sekolahnya. Wajahnya nampak sedikit cerah daripada waktu sebelumnya. Sesekali ia tersenyum sendiri.
            “Aku akan membeli apa ya untuk ulang tahun ibu hari ini?” Saat ia kebingungan, sebuah toko kue dan roti terlihat di ujung jalan. Tak lama kemudian ia memutuskan untuk  membeli sesuatu disana. Sesampainya di depan toko, ia terkejut melihat pemandangan di dalamnya dari dinding kaca toko tersebut. Tangannya lekas mendorong pintu tersebut dan berlari mendekati seorang lelaki yang tengah dikerumuni oleh tiga orang lelaki tersebut.
            “BERHENTI KALIAN SEMUA! Siapapun tak boleh ada yang mengganggunya. Termasuk kau, Rei. Camkan itu!” Usai berucap demikian, Carl terkejut melihat seseorang menerobos masuk dan menolong orang di depannya sekarang, Rei. Kini gadis itu menatapnya tajam.
            “Apa yang sudah kau lakukan? Seenaknya saja kau memperlakukan temanku seperti ini! Kali ini tindakanmu sudah keterlaluan!”
            “Orang ini yang telah membuatmu untuk menjauh dariku, bukan?”
            “CUKUP, Carl!" Carl terdiam seketika saat gadis bernama Rika memotongnya.
"Tindakanmu sudah semakin kelewatan sekarang. Kau tahu kenapa? Kau tak bisa memaksa mereka untuk bersikap baik padaku. Bahkan ayahku…” Setetes cairan putih keluar dari pelupuk mata Rika.
            “A-aku melakukan itu semua untuk melindungimu, Rika. K-kau mengerti maksudku, bukan?” Rika menepis tangan Carl yang bergerak mendekati wajahnya.
            “Aku tahu. Awalnya aku senang ada orang yang membantuku dari semua perlakuan mereka padaku. Tapi aku merasa ini semua tidak benar. Entahlah. Mungkin sama seperti yang kau lakukan sekarang pada temanku. Aku tak ingin kehilangan teman lagi. Jadi kumohon jangan ganggu aku dan semua orang di sekitarku mulai sekarang, Carl. Maaf,” ucap Rika dan menarik tangan Rei paksa keluar dari kerumunan Carl dan teman-temannya. Rika berlari keluar dari toko tersebut seraya masih menggenggam tangan Rei.  Saat mereka sampai di sebuah taman, agak jauh dari toko tersebut.
            “Hey-hey. Kau mau membawaku kemana?” tanya Rei yang terpaksa mengikutinya dari belakang. Rika baru tersadar dan cepat-cepat melepas tangan Rei. Ia terlihat canggung sekarang.
            “Eh? Ma-maaf atas kejadian di toko tadi. Aku hanya bermaksud untuk membawamu keluar dari Carl dan teman-temannya. Aku tidak ingin seseorang terluka lagi.” Tak lama kemudian Rei tertawa terbahak-bahak. Melihat Rika menjadi bingung atas perubahan sikapnya, Rei kembali sedikit serius. 
            “Jadi namamu Rika dan orang yang kau maksud selama ini adalah Carl? Ya ampun, ternyata dia bisa bergaul dengan wanita juga ya. Kukira dia masih takut. Kenapa kau tidak bilang padaku dari awal? Bagaimana bisa kau berhubungan dengan anak seperti dia?" cerocos Rei tanpa jeda dan mulai memberondong gadis itu dengan berbagai macam pertanyaan.
"Tunggu-tunggu. Pertanyaanmu terlalu banyak. Lagipula dia itu berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan dan elit. Waktu itu aku melihat seragam sekolahmu dan kukira kau tidak mungkin mengenalnya. Jadi lebih baik aku mengumpamakannya saja. Maaf, jika aku menganggapmu demikian." Rika tak berani menatap wajah Rei, merasa bersalah karena terlalu jujur mengatakan semuanya. Mendengar hal itu Rei pun duduk disampingnya. Ia menghembuskan napas panjang dan menutup matanya, menikmati sejenak hembusan angin sore itu sebelum melanjutkan pembicaraan mereka.
"Aku tidak keberatan karena memang begitulah kenyatannya. Tapi sebenarnya dulu sekali... Aku sudah mengenalnya sejak kecil dan sering bermain bersama, bahkan kami sangat dekat sampai-sampai aku hafal semua sifat dan kepribadiannya. Jadi aku terkejut kalau dia punya teman wanita sekarang, terakhir kali aku bertemu dengannya dua minggu yang lalu dan sifatnya masih sama. Dan sejak saat itu dia mulai membenciku sampai sekarang."
Gadis itu kini menatap Rei dengan penuh tanda tanya di kepalanya. Yang pasti dirinya kini sudah tak ingin menemui lelaki bernama Carl itu. Entah bagaimana dengan sosok di sampingnya ini, nampaknya dia dan Carl sebenarnya masih ada sesuatu yang belum selesai. Tapi apa itu? Bagaimana bisa mereka menjadi saling membenci padahal sudah sedekat itu? Apakah dia harus membantunya atau tidak? Ia masih bingung.
"Sebenarnya dia orang yang baik. Sungguh. Aku tidak bohong." Rika terkejut karena Rei tiba-tiba menatapnya seraya tersenyum, membuatnya lekas berpaling melihat ke depan.
"Te-tentu saja. Aku tahu itu. Dia memang begitu saat pertama kali aku bertemu dengannya. Dialah yang pertama menolongku dari perlakuan mereka. Sejak saat itulah kami menjadi dekat. Tapi aku hanya menganggapnya sebagai teman saja. Teman terbaik yang pernah kutemui. Sikap semua orang disekitarku pun perlahan berubah menjadi lebih baik, termasuk ayahku yang biasanya berlaku kasar pun perlahan berubah. Aku bahkan tidak pernah membayangkan hal itu, tapi kemudian aku menjadi sangat berterima kasih pada Carl yang entah bagaimana caranya ia merubah mereka yang masih tidak mau memberitahuku caranya."
Cerita Rika meluncur begitu lancar dari bibirnya. Termasuk bagaimana ia menduga Carl sampai pada skenario terburuk hingga ia mnemukan faktanya sendiri melihat sikap Carl di toko roti tadi. Rei mendengarkannya dengan seksama sambil sesekali melihat jam di tangannya.
"Sepertinya aku mengerti situasinya sekarang. Menurutku ini semua adalah salah paham saja. Baiklah, besok temui aku di tempat biasanya. Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Jangan sampai telat. Oh ya, panggil aku Rei. Sampai jumpa besok!" Setelah itu Rei berlari pergi meninggalkan Rika tanpa memberinya kesempatan sedikitpun untuk bertanya.
"Ya ampun. Apa aku tidak salah mempercayai orang seperti mereka berdua? Rika, kau masih sehat, kan?" Gadis itu menepuk kedua pipinya sebelum akhirnya ia menyadari bahwa dia tetap harus berpikir positif . Berharap sebuah pelangi pasti akan muncul usai terjangan badai yang hebat.
***
Langit kemerahan menyinari aliran air sungai yang begitu jernih. Tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat ketika seorang gadis berambut merah sudah berdiri di atas jembatan seperti biasanya. Nampaknya ia sedang menunggu seseorang hingga tak lama kemudian kehadiran seseorang membuat suasana menjadi beku sejenak. Semilir angin pun berhembus saat kedua mata mereka bertemu. Ya, gadis itu cukup terkejut sampai tak bisa berkata-kata melihat sosok di depannya sekarang. Sosok lelaki itu menampakkan wajah datar disaat hatinya berdesir disaat yang bersamaan.
"Apa yang sedang kau lakukan disini, Rika?" tanya lelaki itu membuka pembicaraan.
"Eh? Sebenarnya Rei yang memintaku datang kesini. Kau sendiri bagaimana, Carl?"
"Jadi dia bilang padamu juga. Apa yang sedang dia rencanakan sekarang? Awas saja kalau sampai dia berbuat yang aneh-aneh. Memangnya sejak kapan kau kenal dengannya? Aku kira kau adalah orang yang sulit untuk berteman dengan orang lain." Rika beralih menatap pemadangan sungai dari atas jembatan sebelum menjawab pertanyaan Carl.
"Aku sudah mendengar semuanya dari Rei. Entah apa yang terjadi dengan kalian, tapi kalian dulu sangat dekat. Kurasa kalian berdua sebenarnya adalah orang yang baik. Waktu itu kami tak sengaja bertemu dan dialah yang menolongku ketika aku mencoba untuk bunuh diri dari atas jembatan ini." Carl tersentak kaget mendengar cerita Rika kali ini. Dia pernah ingin bunuh diri? Tapi kenapa? Kenapa dia tidak tahu hal itu? Apakah Rika masih menganggapnya orang lain sampai ia tidak boleh tahu masalahnya? Carl mengacak-acak rambutnya kesal dan memandang bayangannya sendiri di atas air.
Tak lama kemudian sesosok bayangan laki-laki muncul disamping Carl. Cepat-cepat Carl menoleh. Rei baru datang dengan membawa seseorang yang digenggamnya erat-erat.
"Kurasa aku menemukan biang keladi masalah kalian. Lihatlah siapa yang kubawa ini!"
"Joe? Apa maksudmu dengan membawa Joe ke sini, Rei? Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusanku. Jangan macam-macam kau, Rei!" Ujar Carl tak terima temannya dianggap yang aneh-aneh oleh Rei. Rei menggelengkan kepala dan mendecak kesal.
"Tck... Tck... Sobat, kau ini mudah percaya saja dengan orang penjilat ini. Apa kau tidak tahu perbuatan apa yang telah dilakukan Joe di belakangmu? Temanmu inilah yang mengancam orang-orang di sekitar Rika. Dia mengatasnamakan namamu agar mereka takut dan tunduk dengan perintahnya. Cepat mengakulah sebelum kuputar rekaman pembicaraanmu dengan Ryan!" Joe nampak tersudut dan ketakutan. Akhirnya mau tak mau ia mengaku semua perbuatannya pada Carl, termasuk semua rencananya untuk membuat Carl menderita nanti karena Rika. Jadi dialah yang menyebar rumor palsu bahwa Rika dan Carl sudah melakukan hubungan yang lebih dari sekedar teman biasa. Teman-teman Rika yang awalnya takut karena kedudukan Carl menjadi lebih berani menekan Rika.
Keduanya terdiam sejenak, larut dalam pikiran mereka masing-masing. Tak ada satu kata pun keluar lagi diantara mereka. Menurut Carl, kejadian ini benar-benar janggal. Tapi setelah mendengar rekaman Joe dan Ryan, musuh bebuyutannya di SMA. Mau tak mau ia mempercayai kenyataan aneh ini. Berpura-pura baik mungkin mudah bagi orang lain, tapi baginya kebaikan bukanlah sesuatu yang patut untuk dipermainkan, ia bahkan sangat menentang dan membenci orang seperti ini.
"Maaf sudah berpikir negatif padamu, Carl. Kukira kau yang melakukan itu semua pada teman-temanku." Rika mengulurkan tangannya. Lelaki bernama Carl membalas uluran tangannya.
"Kau tidak perlu minta maaf. Akulah yang seharusnya minta maaf padamu karena sudah melibatkanmu dalam masalahku. Aku benar-benar tak menyangka hal ini akan terjadi. Harusnya aku lebih waspada mengingat semua orang tahu kelemahanku ini dan selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkanku." Carl beralih pada Joe yang tak bisa lepas dari cengkeraman Rei, peraih sabuk hitam karate termuda saat masih satu SMP dengannya.
***
Beberapa hari kemudian, di sebuah sekolah, lebih tepatnya kelas 2-1 ketika pelajaran sedang berlangsung, seorang lelaki, Rei merasakan ponsel disakunya bergetar. Ia membuka ponselnya, ada sms masuk. Wajahnya nampak terkejut. Usai membaca sms dari nomor tak dikenal, ia lekas meminta izin pada gurunya untuk pulang lebih awal padahal bel sekolah akan berdering beberapa menit lagi. Sepeda Rei melaju kencang di jalanan, melesat lebih cepat dari kecepatan mobil dan sepeda motor sekalipun. Wajahnya nampak cemas hingga dalam waktu yang cukup singkat, sepedanya berhenti di rumah sakit. Ia segera berlari menuju kamar operasi setelah mendapat informasi dari resepsionis.
Sesampainya di depan ruang operasi, ia terkejut melihat disana tampak Rika dan beberapa wajah tak asing sedang menunggu di depan ruang operasi. Mereka semua berdiri melihat kedatangannya.
"Apa yang sedang terjadi disini?" tanya Rei dengan perasaan campur-aduk dalam hatinya.
"Jangan khawatir, Rei. Ayahmu pasti akan baik-baik saja. Kenapa kau tidak memberitahuku tentang kondisi ayahmu padaku? Aku pasti takkan salah paham dan membencimu karena sudah membohongiku. Kau tahu sendiri kalau aku tidak suka dengan orang yang berbohong, bukan?" Ucapan orang disampingnya ini sedikit meredakan kekhawatirannya.
"Carl benar. Jangan pikirkan masalah uang sekarang. Yang penting adalah keadaan ayahmu sekarang. Rei. Dia pingsan saat bekerja di sekolah tadi. Jadi aku langsung membawanya kesini dan Carl datang membantuku juga." jelas gadis berkucir dua yang tak lain adalah Rika. Ia tidak tahu apakah ia harus senang atau sedih melihat suasana di hadapannya sekarang. Kehadiran orang-orang terdekatnya untuk melewati kesulitan ini benar-benar membuatnya bahagia. Selang beberapa menit kemudian, dokter keluar dari ruang operasi. Rei berdiri menghampirinya.
"Syukurlah. Operasinya berjalan lancar. Penyakitnya sebenarnya cukup dalam, tapi karena lekas ditindaklanjuti sehingga kami bisa mengatasinya dengan cepat."

Rei benar-benar lega mendengarnya. Sebuah keajaiban membuatnya menjadi orang beruntung dalam sekejap. Semua keadaan menjadi lebih baik dan berakhir indah. Hubungan pertemanannya membaik, begitu pula dengan kekhawatirannya selama ini. Menurutnya, ayahnya telah menjadi seorang pria sejati karena berhasil melalui semua ini sendirian dengan penuh kesabaran.

Comments